Lounge malam itu tidak terlalu ramai. Lampu neon ungu menghiasi dinding kaca. Di sofa VIP paling ujung, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau satin sedang tertawa kecil sambil menyeruput martini.
Ellan duduk di sebelahnya. Kemeja hitam, dasi longgar, senyum setengah jadi.
Dia tampan. Terlalu tampan untuk pria yang tampak segalau itu.
“Darling, kamu nggak seperti biasanya malam ini,” ujar si wanita, suaranya seperti madu dan vodka bercampur jadi satu.
Ellan menoleh sedikit, tersenyum sopan. “Long day, Tante. But I’m all yours tonight.”
“Oh, I know that,” si wanita mengedip genit, lalu berdiri. “Tunggu sebentar ya. Aku harus angkat telepon.”
Begitu wanita itu melangkah menjauh, seseorang menarik kursi di seberang meja.
“Holy. Sh*t. Romeo in black silk,” gumam suara yang sangat familiar.
Ellan menoleh pelan.
Grace.
Dengan crop top hitam dan rambut dicepol asal-asalan, ia meletakkan gelas wine ke meja, lalu bersandar dengan ekspresi penuh dosa.
“Gue nggak nyangka ketemu lo di tempat kayak gini,” katanya, suara datar tapi matanya penuh analisis.
Ellan menyandarkan tubuh ke sofa, menghela napas. “Gue kerja di mana aja asal dibayar.”
Grace memicingkan mata. “Termasuk nemenin tante-tante tajir yang bisa jadi emak lo?”
Ellan tak menjawab. Hanya meneguk anggur yang belum sempat disentuh si tante barusan.
“Lo gila,” desis Grace. “Serius deh, lo gila. Lo mainin Sheana?”
Kata itu langsung bikin Ellan menoleh. Pelan. Tatapannya dalam.
“Dia nggak akan marah. Sama kayak gue... yang nggak punya hak buat marah waktu liat dia mesra sama suaminya sendiri.”
Grace terdiam.
“Gue bukan siapa-siapanya,” lanjut Ellan, suaranya rendah, serak. “Gue cuma... seseorang yang dia temuin di tengah-tengah hidupnya yang udah dikunci mati sama dunia.”
Grace menyipitkan mata. “Yha, dan bonus kalau bisa pelampiasan juga ya?”
Ellan menoleh tajam. “Gue nggak—”
“Don’t even try.” Grace mengangkat alis. “Muka lo udah kayak orang yang baru ditampar kenyataan.”
Ia menyesap wine, lalu menyilangkan kaki, ekspresinya berubah jadi lebih usil.
“Gue nggak tahu lo semarah itu, tapi... feeling gue sih lo pasti nyaris ngebanting tembok, kan?”
Ellan diam. Rahangnya mengeras.
“HAH! Gue bener! Anjrit, Ellan. Selingkuhan yang cemburu itu... top tier drama.”
Ellan menggeram pelan. “Gue cuma... ngeliat.”
“Ngeliat. Sambil muka lo nyaris meledak ke lantai. Nice control, Cowboy.”
Ia menyesap wine lagi, kali ini matanya lebih tajam.