Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #41

Sheana, Bahaya yang Kuinginkan

Alvino duduk di ujung meja, wajahnya seperti sedang menonton drama tak tertulis.

Sheana akhirnya bicara. Suaranya tenang. Terlalu tenang. “Kalau bisa dipercepat dua minggu, harusnya divisi klinis juga bisa sinkronisasi data uji lapangan dari Hanoi. Aku bantu koordinasiin.”

“Ya... semua juga bisa cepat kalau yang ngomong Sheana,” celetuk Ellan. “Kalau semua bisa dipercepat, semoga hati yang dingin juga bisa cepat mencair.”

Dirga menoleh, curiga. “Apa tadi?”

“Enggak.” Ellan meneguk air putih cepat. “Itu metafora suhu.”

Alvino menghela napas panjang, lalu bicara, “Kita fokus ke timeline dan kesiapan tim. Ellan, kamu backup distribusi. Sheana, bantu tim klinis untuk validasi dokumen.”

“Dengan senang hati,” ujar Sheana, masih tanpa ekspresi. Tapi tangannya merapikan tablet di atas meja... terlalu pelan. Terlalu anggun.

Ellan menoleh padanya sekilas. “Kalau ada dokumen yang butuh tanda tangan manual, aku bisa ke ruangan kamu. Atau kita ketemuan di gudang vaksin aja. Lebih... dingin.”

“Maaf?” Sheana menaikkan alis.

“Biar otakku nggak overheat, maksudnya.”

Dirga menatap Ellan. "Kamu yakin baik-baik aja?"

“Kalau vaksin bisa tahan minus dua derajat, masa aku enggak?”

Mahi melirik Sheana, berbisik, “Dia kenapa sih?”

Sheana mengangkat bahu, lalu menjawab datar, “Jet lag emosional, mungkin.”

Alvino mengetuk meja pelan. “Cukup. Kita wrap up. Saya harap minggu ini semua tim bisa progress tanpa drama.”

Rapat selesai.

Sheana berdiri duluan, merapikan tabletnya. Tapi Ellan justru berdiri dengan cara paling teatrikal—kursi diseret kasar, berisik, lalu dokumen disambar cepat sampai hampir jatuh.

Mahi memekik kecil.

“Maaf,” gumam Ellan. “Aku... terlalu semangat buat bubar.”

Dirga menoleh istrinya, menyentuh punggung Sheana ringan sambil berkata, “Jangan lupa diskusi sama tim legal ya nanti siang.”

Sentuhan itu kecil. Tapi cukup.

Ellan yang hendak berjalan keluar nyaris menabrak daun pintu karena menoleh terlalu cepat.

F*CK—” bisiknya pelan, masih bisa terdengar.

Mahi menoleh, kaget. “Ellan?”

“Aku fine,” katanya cepat, sambil membuka pintu dengan sedikit terlalu banyak tenaga.

Semua mata tertuju padanya. Termasuk Sheana. Yang paling lama menatap—Dirga dan Alvino.

Mahi menoleh ke Alvino. “Dad… is he okay?”

Alvino tak menjawab. Matanya menatap pintu yang baru saja tertutup. Rahangnya mengeras pelan. Dan dalam hati, ia tahu...

Seseorang sedang kehilangan kendali.

***

Ruang kerja pribadi Alvino, beberapa menit setelah rapat.

Mahi duduk di kursi samping meja, masih membuka catatan dari rapat barusan. Tapi sesekali matanya melirik ke pintu yang baru saja ditutup oleh Ellan dengan terlalu keras.

“Dad...” katanya pelan, “Kamu pernah lihat Ellan... kayak tadi?”

Alvino tidak langsung menjawab. Ia sedang menuangkan teh ke cangkirnya. Gerakannya tenang. Terlalu tenang.

“Pernah,” jawabnya akhirnya, “waktu dia umur tujuh tahun, dan kehilangan robot kesayangannya.”

Mahi terkekeh pelan, tapi tawanya cepat memudar. Ia masih tampak memikirkan sesuatu.

“Tapi barusan beda, ya?”

Alvino menyesap tehnya, lalu memandang putrinya dalam-dalam. “Kamu pikir itu kenapa?”

Mahi menggeleng pelan. “Aku... nggak tahu. Tapi tadi dia kayak... meledak dari dalam. Padahal cuma gara-gara timeline logistik.”

“Bukan cuma timeline,” gumam Alvino. Lalu menambahkan, “Kadang orang yang meledak, bukan karena masalahnya besar... tapi karena hatinya udah rapuh dari awal.”

Hening sejenak. Mahi menggigit bibir bawahnya, lalu berkata pelan,

“Menurut Dad... dia lagi ada masalah pribadi?”

Alvino menautkan jemarinya. Lalu bertanya balik.

“Menurut kamu, Sheana orang seperti apa?”

Mahi sedikit terkejut. “Sheana?”

“Iya.”

“Dia... dewasa. Elegan. Smart banget. Tapi juga hangat. Kayak... someone you’d listen to, without even realizing it.”

Alvino mengangguk pelan. Lalu berkata tanpa menatap Mahi.

Lihat selengkapnya