Beberapa menit kemudian, Sheana mendorong pelan dada Ellan. Matanya berkaca-kaca, bibirnya basah.
“Ellan... kita nggak bisa terus kayak gini...”
Tapi Ellan masih memejam. Masih belum siap melepas.
“Just tonight,” bisiknya pelan. “Just this moment. Biarkan aku lupa kalau kamu bukan milikku.”
Sheana mengusap pipinya. Dan walau tidak menjawab, ia tetap berdiri di sana.
Bersama Ellan. Di ruang dan waktu yang sempit...
Mereka memilih saling memiliki—meski tahu, kehilangan hanya tinggal menunggu giliran.
Di tempat lain, Mahi kini berdiri di dekat buffet, sendirian, piring di tangannya nyaris tak disentuh.
Matanya sibuk.
Tatapannya melayang ke seluruh ruangan—ke panggung kecil di tengah, ke jajaran direksi, ke sudut tempat Alvino baru saja bicara dengan klien Jepang, dan terakhir... ke pintu masuk.
Pintu itu terbuka pelan.
Dua sosok melangkah nyaris bersamaan. Terpisah hanya beberapa detik. Tapi... cukup.
Sheana. Lalu Ellan.
Mahi menegakkan tubuhnya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, tapi wajahnya tetap tenang. Ia memperhatikan. Bukan hanya siapa yang datang, tapi bagaimana mereka datang.
Sheana terlihat berusaha mengatur napas. Tangannya sibuk merapikan gaun. Sedangkan Ellan—matanya liar sesaat sebelum kembali tenang, lalu mengambil posisi di dekat tamu dari Korea Selatan, berpura-pura membaca brosur acara.
Mahi tahu betul...
Orang yang tidak punya hubungan, tidak akan masuk ruang yang sama dalam jarak sedekat itu... dengan jeda segelisah itu.
Ia menyesap minumannya, menoleh pelan ke arah Alvino yang sedang berbicara dengan Dirga. Keduanya tampak tenang. Profesional.
Tapi Mahi...
Dalam hatinya, badai kecil mulai bertiup.
“Aku nggak tahu hubungan kalian sedekat ini,” bisiknya pelan dalam hati, sorot mata tajam ke arah Sheana. “Tapi malam ini... aku benar-benar menyadari sesuatu.”
Saat sorot mata Sheana bertemu dengan tatapan Ellan, hanya sepersekian detik—Mahi melihat semuanya.
Senyap. Tapi gamblang.
Ia tahu, malam ini tak lagi bisa menyangkal.
Hati Ellan jelas-jelas bukan untuknya.
***
Mahi membanting pintu kamarnya pelan. Tangannya gemetar, bukan karena dingin AC yang terlalu rendah, tapi karena sesuatu dalam dirinya seperti runtuh.
Ia berdiri di depan cermin besar yang menempel di dinding.
Gaun merahnya masih sempurna. Bibirnya masih merah. Matanya? Basah.
“Bodoh banget, Mahi…” gumamnya pelan. Suaranya retak.
Ia meletakkan clutch bag ke meja rias, lalu menatap bayangannya sendiri. Ada garis luka yang baru ia sadari, di sana. Di balik senyumnya selama ini.