Sheana membuka pintu perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara saat masuk ke rumah yang temaram. Lampu ruang tengah hanya menyala setengah redup, menyorot sebagian sofa dan meja kayu yang sudah lama tak diganti. Televisi menyala, tapi tanpa suara. Hanya gambar berita malam yang berganti-ganti di layar.
Dirga duduk di sana, bersandar santai dengan satu tangan menggenggam gelas berisi es batu yang nyaris mencair semua. Ia tak langsung menoleh saat mendengar suara pintu. Tapi ia tahu Sheana sudah pulang. Ia selalu tahu.
"Seru ya nongkrongnya?" tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan namun cukup jelas untuk menembus keheningan ruang.
Sheana berhenti melepas sepatunya. Satu detik, dua detik. Lalu ia kembali bergerak, menggantung tasnya di balik pintu dan berjalan ke dapur.
"Maaf, tadi agak lama. Grace cerita banyak soal kerjaan..." jawabnya, berusaha terdengar ringan.
Dirga tak menanggapi. Ia hanya mengangkat gelasnya, memutar es yang tinggal seujung kuku itu dan meneguk pelan.
"Aku bilang seru, bukan lama," katanya kemudian, masih tanpa melihat ke arah Sheana. "Beda."
Sheana mematung di depan kulkas, jari-jarinya menggenggam pegangan pintu yang belum sempat dibuka. Ada tekanan aneh di udara—bukan marah, bukan dingin, tapi cukup menusuk.
Dirga berdiri, berjalan mendekat, membuka kulkas lebih dulu darinya, lalu mengambil sebotol air mineral dan dua gelas. Dengan tenang, ia menuang air dan menyodorkan salah satunya ke Sheana.
"Minum dulu. Katanya, orang yang lagi dikelilingin gosip tuh hausnya dobel."
Sheana menatap gelas itu, lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Dirga. Ada senyum di sana. Tipis. Nyaris sopan. Tapi tatapannya—itu yang membuat tengkuk Sheana kaku.
"Kamu ngomong apa sih?" gumamnya, pelan.
"Aku? Nggak apa-apa. Cuma pengamatan netral." Dirga meneguk air dari gelasnya sendiri, lalu menurunkannya ke meja dapur. "Lucu juga ya, Na. Dunia ini... sempit banget. Ada yang bisa bayar orang, ada juga yang cukup bayar pakai pandangan."
"Ga—"
Dirga mengangkat tangan, seolah tak mau diganggu.
"Aku nggak marah. Aku bukan tipe suami yang suka ribut. Tapi kamu juga tahu, kan? Nggak semua orang sebaik aku."
Sheana diam. Ia tahu kalimat itu bukan pujian. Itu sindiran yang dibungkus kepura-puraan damai.
Dirga melangkah pelan ke arah tangga. Tapi sebelum kakinya menjejak anak tangga pertama, ia menoleh.
"Jaga stamina, Na. Akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Jangan sampai kecapekan pas disidang."
Lalu ia naik. Tenang. Tanpa satu pun langkah terburu.