Keesokan harinya.
Pagi itu cerah, terlalu cerah untuk Ellan yang duduk mati di kamar, menatap tiket pesawat dan koper yang dipaksa sudah terisi oleh asistennya.
Pintu dikunci dari luar sejak semalam. Tapi Ellan tak butuh pintu utama untuk pergi. Ia tahu semua celah rumah, termasuk jendela belakang yang langsung menuju pagar rendah ke arah garasi.
Saat jam menunjukkan pukul 09.00—saat semua staf rumah sedang menyiapkan keperluan Alvino pergi ke kantor—Ellan bergerak.
Cepat, senyap, dengan satu ransel dan napas pendek, ia lari keluar pagar belakang, lalu menyelinap ke mobil tua milik staf lama yang masih disimpan di garasi luar. Ia tahu kuncinya disimpan di laci dashboard.
Mesin mobil itu menyala dengan satu dengung yang berat, tapi cukup untuk membawanya ke tempat satu-satunya yang ingin ia datangi.
Ellan membuka ponsel dan menelepon nomor Sheana. Panggilan langsung tersambung.
“Shea,” suaranya rendah dan serak saat Sheana mengangkat. “Kamu di rumah, kan?”
“Ellan?” Sheana terdengar heran. “Kamu kenapa—kenapa suaramu kayak orang habis lari maraton?”
Ellan menelan ludah. “Aku ke sana sekarang. Tunggu aku, jangan ke mana-mana.”
“Sheesh, kamu serius?” terdengar langkah tergesa dari seberang sambungan. “Kamu kenapa? Kamu... kamu baik-baik aja?”
Napas Ellan tercekat. “Enggak. Aku gak baik-baik aja.”
“Ellan... ada apa?”
“Kamu percaya sama aku?”
“Ellan, kamu kenapa sih? Suaramu—”
“Kamu percaya atau nggak?”
“...Aku percaya.”
“Tunggu aku. Bentar lagi sampai.”
Klik. Sambungan diputus.
Ellan akhirnya tiba di depan rumah Sheana. Ia berhenti terburu, memarkir sembarangan di tepi jalan. Tak sempat memastikan rambutnya rapi, tak sempat menenangkan napas. Ia hanya mengetuk pintu dan menunggu, gelisah, nyaris panik.
Sheana membukakan pintu dengan ekspresi bingung dan kaget. Ia mengenakan dress santai warna biru muda, rambutnya tergerai dan masih sedikit basah. Wajahnya bingung, tapi langsung berubah tegang saat melihat Ellan.
“Ellan, what the hell is going on? Kamu ngapain di sini—”
“Aku disekap semalam. Kamar dikunci dari luar.” Nafasnya masih memburu. “Hari ini Daddy mau kirim aku ke London. Tiketnya udah di tangan.”