Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #49

Welcome to the Hell We Named Love

Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. “Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi… dengan sengaja.”

“Dengan perempuan itu.” Alvino mendesis seperti akan meludah. “Tell me it’s not true.”

Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan.

“Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!” Napasnya memburu. “Dan kalian semua di sini cuma berdiri?!”

Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.

Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang—suasana justru berbanding terbalik.

Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang ada di tangannya. Tidak ada label. Hanya penanda kecil di bagian bawah.

Untuk penggunaan pribadi.

Jarinya memutar botol itu pelan, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar skandal publik.

Suara langkah keras menghentak ruangan itu. Dian Maheswari membuka pintu tanpa mengetuk. Wajahnya merah padam, riasannya terlihat sedikit luntur karena keringat marah.

“Sekarang kamu lihat sendiri, Dirga! Lihat apa yang terjadi karena kamu terlalu membela dia!”

Dirga mengangkat pandangannya, tenang. “Mama...”

“Dia kabur! Bukan cuma mempermalukan keluarga kita—tapi juga mempermalukan perusahaan!” bentaknya. “Dan dengan siapa? Anak Alvino! Anak dari partner bisnismu! Yang kemarin kamu hampir putus kontraknya!”

Dirga tidak menjawab. Ia hanya meletakkan botol kecil itu di atas meja dengan gerakan perlahan.

“Dan kamu masih bisa duduk santai begitu aja?!”

“Apa Mama pikir aku harus menangis?” tanyanya pelan. “Mereka bukan anak-anak, Ma. Sheana adalah perempuan dewasa. Ellan juga begitu. Mereka tahu konsekuensi dari keputusan mereka.”

Dian mendekat, menatapnya tajam. “Sheana istrimu! Kamu—”

“Adalah suaminya, iya,” potong Dirga, suaranya tenang tapi menusuk. “Tapi bukan penjaganya. Jika dia memilih pergi, aku tidak akan menyeretnya pulang. Aku hanya perlu menunggu.”

Dian mengerutkan dahi. “Menunggu?”

Dirga hanya tersenyum kecil, lalu menyesap kopinya. Ia tak menjawab. Hanya bergumam seakan untuk dirinya sendiri.

“Obatnya udah mau habis,” katanya kalem. “Dia akan merasa pusing, mulai gemetar, susah napas, nyeri hebat di perut bawah. Rumah sakit tidak akan tahu harus memberi apa, karena tidak ada rekam medis yang bisa mereka akses tanpa aku.”

Dirga mengangkat gelas kopinya, meneguk perlahan.

Lihat selengkapnya