Satu minggu kemudian
"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.
Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna.
"Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana.
"Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh.
"Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.
Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don’t know what you’re doing to me."
Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini dengan senyum tipis. "Aku nggak ngapa-ngapain. Kamu aja yang overthinking."
Ellan mencium puncak kepala Sheana dengan sayang. "Kalau kamu bukan kamu, aku udah... ya, you know."
"You already did," gumam Sheana sambil mencubit pahanya. Ellan meringis.
Mereka terdiam sejenak. Lampu kecil di sudut ruangan menyala temaram. Musik mengalun pelan dari speaker bluetooth. Kulkas kecil di pojok dapur berdengung pelan. Semua tampak biasa—kalau bukan karena situasinya.
Mereka lagi sembunyi.
Bukan dari polisi. Bukan dari musuh. Tapi dari kenyataan yang terlalu banyak menuntut.
Sheana menatap langit-langit. "Menurut kamu, bisa nggak ya kita hidup kayak gini selamanya?"
"Nggak tau." Ellan memeluknya lebih erat. "Tapi aku pengen nyoba."
"Kamu nggak takut?"
"Takut itu waktu kamu nggak ada. Sisanya... bisa diatur."
Sheana membalikkan tubuhnya pelan, menghadap Ellan. Wajah mereka cuma berjarak beberapa inci. Tatapan mereka saling mengunci. Ellan menyentuh dagunya, lalu menarik wajah Sheana mendekat dan mencium bibirnya perlahan. Ciuman lembut, tak terburu-buru. Tapi juga tak sepolos itu.
Tangan Ellan turun ke pinggang Sheana. Sheana balas mendorong tubuhnya mendekat, dan bibir mereka semakin tenggelam dalam satu sama lain.
Sheana berhenti lebih dulu. Napasnya berat. "Kalau kita terusin, kamu bakal nyesel?"
"Kalau kita berhenti, baru aku nyesel."
Sheana tertawa pelan. "Kamu ini—kalau terus peluk aku kayak gini,” gumam Sheana, suaranya nyaris jadi bisikan, “aku bakal lupa kalau kita ini lagi kabur, bukan bulan madu.”
“Tapi kamu nggak nyesel, kan?” suara Ellan terdengar serius sesaat. “Lari bareng aku, ninggalin semuanya kayak gini?”
Sheana diam sejenak. Menatap ke luar jendela.