Senyum Ellan makin lebar. Sementara Sheana menyipitkan mata dengan wajah sebal.
“Guess what? I did it. Even kidnapped her. Dan sekarang aku bawa kabur istri orang.”
Sheana melotot, lalu mencubit dada Ellan. “Kamu brengsek!”
Ellan ngakak, tak bisa menahan tawa. “Tapi brengsek yang kamu cintai, kan?”
Sheana pura-pura cemberut, tapi pipinya memanas.
Beberapa saat mereka hanya saling diam. Lalu gantian, Ellan bertanya.
“Sekarang giliran aku nanya. Kamu pernah punya keinginan aneh? Tabu? Tapi belum pernah kamu lakuin?”
Sheana menggigit bibir. Lama.
“Hmm... ada sih.”
“Apa?” Ellan langsung penasaran. Badannya menggeliat semakin mendekat, seperti anak kecil yang menunggu giliran dapat jatah permen.
Sheana ragu-ragu. “Tapi kamu jangan ketawain.”
“Please. You heard mine. It’s only fair.”
Sheana mendesah. “Aku pengen ngerasain gimana rasanya ngerokok.”
Ellan… bengong sebentar. Lalu ketawa ngakak sampai terbatuk.
“Serius? That’s it?”
Sheana makin cemberut. “Iya! Menurut kamu itu receh?”
“It’s not that. It’s just—kamu tinggal beli dan coba, udah!”
“Gampang buat kamu. Buat aku nggak. Dirga tuh... instingnya tajam. Bahkan waktu aku mau beli cokelat malam-malam aja dia langsung tanya kenapa aku begadang.”
Ellan masih tertawa sambil mencium pipi Sheana berulang-ulang. “Oh God, kamu gemesin banget.”
“Aku serius! Aku takut dimarahin. Diliatin aja aku udah keringetan.”
Ellan memeluk Sheana lebih erat, mencium pipinya dengan sayang. “Kamu lucu banget, tahu nggak?”
“Jangan ngeledek!”
“Kalau kamu mau, besok kita beli rokok satu bungkus. Kamu coba. Tapi... satu hisapan, terus langsung cium aku.”
“Kenapa?”
“Biar aku jadi hal manis pertama yang kamu cium setelah rokok pertama kamu.”
Sheana mendesah. “Kamu tuh ya… modal mulut doang, tapi berhasil terus.”
Ellan tersenyum lebar. “That’s because you let me win, Baby.”
“Aku nggak pernah biarin kamu menang, Ellan.”
“Oh ya?” Ellan menyipitkan mata, suaranya makin rendah. “So you’re saying… I win because I deserve it?”