Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #55

Masa Lalu yang Mengetuk Pintu

Udara siang itu panas, tapi pendingin ruangan di rumah peninggalan keluarga Baskara tetap bekerja dengan nyaris angkuh, mendesis lembut seperti menolak kelembaban dari luar. Dinding putih gadingnya sudah sedikit kusam, tirai krem menahan cahaya berlebih, sementara teko teh porselen tua bertengger di atas meja marmer berurat coklat. Windy Larasati duduk tegak di kursi tamu, menyilang kaki dengan anggun, senyum tipisnya hanya sapuan dari bibir berlipstik peach.

Ketika suara tumit stiletto menginjak ubin datang dari arah pintu depan, Windy langsung tahu siapa yang datang.

“Ah, Dian Maheswari,” sapanya ringan, berdiri dengan gerakan yang terlalu sempurna untuk disebut spontan. “Sudah lama tak berkunjung ke rumah kami yang... sederhana ini.”

Dian melangkah masuk, mengenakan setelan abu-abu lembut dengan siluet tajam, tas kecil menggantung santai di lengan. Ia menatap sekeliling ruangan sejenak, sebelum matanya jatuh ke kursi kosong di seberang.

“Saya memang bukan penggemar nostalgia, Windy,” katanya sambil duduk, menyilangkan kaki. “Tapi kadang masa lalu menuntut kita untuk menyelesaikan apa yang dulu dianggap selesai.”

Windy tertawa kecil. “Masa lalu kita atau masa lalu anak-anak kita?”

Sebelum Dian sempat menjawab, langkah berat terdengar dari arah belakang rumah. Adnan Baskara masuk, mengenakan batik biru tua, rambutnya disisir rapi ke belakang, namun wajahnya—garis-garis tegas di dahinya dan rahang yang terkunci—menunjukkan bahwa ia tak menyambut baik tamu siang ini.

“Bu Dian,” ucapnya datar, tanpa menawarkan jabat tangan. “Saya dengar dari Windy Anda ingin bicara. Tapi to the point saja, saya tak punya banyak waktu untuk basa-basi.”

Dian mengangguk pelan, matanya tetap tenang. “Tentu, Pak Adnan. Saya juga tak biasa berputar-putar terlalu lama.” Ia meletakkan tasnya di pangkuan, jemarinya saling menggenggam anggun. “Saya datang sebagai ibu dari Dirga Bimantara, suami sah dari Sheana.”

“Dan saya ayah dari Sheana Baskara,” jawab Adnan cepat, tajam. “Yang saya nikahkan bukan karena cinta, tapi karena... kewajiban. Atas kesepakatan antar dua keluarga.”

“Kesepakatan?” Dian menaikkan alis. “Lucu. Saya ingat betul waktu itu, Bapak datang ke rumah kami membawa proposal. Bukan kesepakatan, tapi permohonan. Dengan angka yang tak kecil, kalau saya tidak salah.”

Windy mendesis pelan. “Dian...”

“Ah, maaf.” Dian tersenyum, terlalu tenang. “Saya tidak bermaksud menyentuh hal sensitif. Hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua di sini pernah... berinvestasi dalam pernikahan itu.”

Adnan mencondongkan tubuhnya, suara rendahnya bergetar dari dada. “Jangan bicara seolah keluarga kami menjual anak. Saya memilih Dirga karena saat itu dia terlihat seperti pria yang bisa bertanggung jawab. Bukan karena saya ingin... mencairkan aset.”

“Tapi ternyata,” Dian memotong, tajam tapi tetap elegan, “putri Anda tak bisa menjaga kehormatan rumah tangga. Dia bermain api dengan pria yang jauh lebih muda. Dan sekarang—semua nama baik yang kami bangun selama puluhan tahun, dipertaruhkan oleh satu orang. Yaitu Sheana, putri Bapak.”

Lihat selengkapnya