"Heh!" Sheana mencubit perutnya. "Nggak usah yang aneh-aneh. Just dinner, ngobrol, ketawa-ketawa dikit, uang langsung masuk. Bisa buat bertahan.”
"Mmm... kamu beneran nggak cemburu?"
"Right now? I'm more hungry than jealous. Jadi kalau kamu mau ngeliat aku pingsan kelaperan, silakan nolak."
Ellan mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. "Oke oke, aku kerja malam ini. Tapi... kalau duitnya habis lagi, kamu jual aku lagi?"
"Mmm... bisa jadi," sahut Sheana, menggoda. "Kalau belum dapet kerjaan yang pas, ya."
"Astaga, aku beneran dieksploitasi. This is abuse."
"Jangan cerewet. Sini aku siapin kemeja kamu yang paling rapi."
Ellan bangkit sambil mengeluh manja. "Tapi tante yang itu suka nyosor pipi, tau nggak."
"Ya mau gimana lagi? Salah siapa kamu ganteng dan gemesin? Kalau belum dapet kerja tetap, ya siapa lagi yang bisa kita andalin? Gantengmu itu sekarang satu-satunya sumber income.”
“Ngga mau! Kamu aja yang nemenin sana.”
“Oh, gitu ya?” Sheana menatapnya tajam, lalu tersenyum licik. “Kalau aku yang kerja, berarti aku yang dandan. Tapi aku nggak mungkin nemenin tante-tante... jadi yang aku temenin om-om.”
Ellan langsung tegak. “Nope. No freaking way. Om-om itu jauh lebih agresif daripada tante-tante.”
“Yaudah. Ayo, siapkan senyummu, Pretty Boy.”
"Tapi serius ya..." Ellan berhenti sejenak. Wajahnya mengeras. "Kalau aku bilang kamu aja yang nemenin om-om kaya, kamu mau?"
Sheana mendelik. "Ngapain juga aku—"
"Exactly," potong Ellan. "Aku juga nggak suka ide kamu disodorin ke cowok lain. Jadi ya... aku kerja aja. Tapi jangan pernah bilang kamu bakal nemenin om-om, oke?"
Sheana mengangkat tangan, pura-pura menyerah. "Fine, fine. Kamu yang kerja. Aku yang nunggu di taman. Tapi abis itu, kamu traktir aku makan enak. Deal?"
"Deal. Tapi kamu ikut nganterin, kan?"
Sheana tersenyum. "Of course. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian di kota malam-malam gini. We're in this together."
***
Sheana duduk di bangku taman kecil dekat pusat kota. Angin malam menusuk kulitnya meski ia sudah memakai jaket tebal. Ia menggigil sedikit, mengusap lengannya, lalu melirik jam ponsel. Hampir pukul sebelas.
Di depannya, lapak pedagang kaki lima mulai sepi. Cahaya dari lampu taman redup. Nyamuk mulai menyerang, tapi Sheana tetap bertahan. Ia memandangi orang yang lalu-lalang, atau menatap jalanan kosong tempat Ellan menghilang sekitar dua jam lalu.
Sesekali ia tertawa kecil sendiri. Membayangkan Ellan duduk berdua dengan tante sosialita, dipuji-puji dan disuguhi wine mahal.
“Dasar bocah nakal, pasti senyum manisnya nyebar kemana-mana,” gumam Sheana sambil tersenyum, meski dalam hatinya sedikit geli.
Ketika langkah kaki cepat menghampiri, Sheana berdiri. Ellan muncul dari ujung jalan dengan kemeja yang sedikit kusut, rambut agak acak, dan pipi memerah.
“Mission accomplished! Sorry lama.”
“Gimana?” tanya Sheana, menyembunyikan senyum.
“Payah. Tante itu cerewet banget. Tapi ya… lumayan,” katanya sambil mengangkat amplop tipis. “Cash. No transfer. Old school banget.”