Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #61

Rahasia Dirga

"Answer me, Dad," kata Ellan pelan. "Kamu pikir aku ini bersih?"

"Apa maksudmu?"

Ellan menarik napas, menunduk sejenak, lalu menatap lurus ke mata Alvino.

"Before I met Sheana... I was an escort. Pretty boy for hire. Aku kerja buat nemenin tante-tante kaya yang kesepian. Dinner, dancing, party, atau sekadar main-main. You name it. Aku hidup untuk uang dan kesenangan."

Mahi langsung menutup mulutnya dengan tangan. Alvino membeku.

Dan Ellan melanjutkan.

"Sheana... awalnya cuma klien. Ya, dia salah satu klien aku. Tapi sejak pertama kali aku lihat dia, aku langsung tahu. She's different. She's real. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku jatuh cinta. Bukan karena uang. Bukan karena tubuh. Tapi karena dia... bikin aku ngerasa hidup."

"Ellan..." Mahi berbisik, masih syok.

Alvino melangkah mundur setengah langkah, seolah ditampar kenyataan.

Ellan justru mendekat, nadanya tajam tapi penuh luka. "Daddy bilang Sheana bawa pengaruh buruk? Padahal karena dia-lah aku mau menyentuh perusahaan. Gala dinner? Rapat? Presentasi investor? I did all of that... biar aku bisa deket-deket sama dia. Biar aku pantas buat dia."

Dia menatap lurus ke mata Alvino. "You should thank her. Karena dia, aku berubah. Dari anak muda liar yang nggak punya arah, jadi seseorang yang kamu impikan sejak dulu. Tapi Daddy terlalu sombong buat melihat dan mengakui itu."

Alvino terlihat terguncang, tapi dia tidak menyerah. "Kalau kamu terusin ini, Ellan... I'll cut you off. You know I will."

Ellan menatap langsung ke matanya.

"Then do it," katanya datar. "Tapi jangan berharap aku bakal duduk diam sementara Daddy hina perempuan yang aku cintai."

Diam. Sunyi. Hanya dada yang naik-turun cepat.

Lalu Ellan berbalik, dan tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari ruangan itu.

Meninggalkan Alvino yang berdiri kaku, dan Mahi yang masih membeku dalam kebisuan di sudut ruangan. Shock. Hancur. Dan tahu malam itu, sesuatu dalam hubungan mereka bertiga-retak untuk selamanya.

***

Sheana terbangun dalam ruangan putih yang terlalu terang. Cahaya matahari menyelinap masuk dari celah tirai, menghangatkan udara tapi tidak juga membangkitkan kenyamanan.

Suara mesin infus berdetak pelan. Aroma disinfektan memenuhi udara. Ia mengenal tempat ini-terlalu akrab. Rumah sakit.

Yang belum tentu ia kenali adalah lelaki yang duduk di sampingnya.

Dirga.

Memakai kemeja biru pucat, wajahnya tampak tenang. Di tangannya ada mangkuk kecil berisi bubur hangat, dan sendok mungil yang kini terarah ke wajah Sheana.

"Kamu harus makan, Na," ujarnya lembut. "Kalau nggak, aku panggil suster buat pasang infus lagi."

Suara itu tak berubah. Pelan, penuh kendali.

Tapi entah sejak kapan, kelembutan itu terasa asing di telinganya.

Sheana tak menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuh pelan, menerima suapan itu dengan gerakan setengah sadar.

Bubur itu hambar. Tapi bukan lidahnya yang bermasalah.

Sakit di perutnya masih terasa menusuk-tumpul, dalam, dan lama. Tapi rasa lelahnya jauh lebih berat dari itu. Lelah yang tidak bersumber dari tubuh.

Tiga minggu ia pergi. Menghilang.

Membawa tubuh dan dompet seadanya, serta sisa nyali yang mulai mengikis.

Lihat selengkapnya