Dirga memasukkan ponsel ke saku celananya. Malam mulai turun. Suara kota perlahan tenggelam di kejauhan, seperti denyut yang menua bersama kenangan.
Ia masuk kembali ke kamar. Lampu redup. Aroma antiseptik dan bunga segar bercampur jadi satu. Di ranjang putih itu, Sheana terlelap. Nafasnya halus. Matanya sedikit bengkak, tapi tenang.
Dirga mendekat perlahan. Ia duduk di kursi di sisi ranjang. Jemarinya ragu menyentuh tangan istrinya.
Sebelas tahun. Dan perempuan ini masih bisa membuatnya merasa seperti anak muda yang bingung.
Ia menatap wajah Sheana lama. Wajah yang dulu selalu ia jaga. Tapi entah sejak kapan, jarak di antara mereka tumbuh tanpa suara.
"Kalau saja kamu tahu, Na..."
Dirga menarik napas berat.
"Kalau saja kamu tahu betapa keras aku berusaha menebus semuanya..."
Kertas-kertas medis di lacinya, hasil-hasil lab, obat-obat yang ia pastikan tetap dikirim tiap bulan—semua adalah caranya mencintai dalam diam. Tapi semakin keras ia mencengkeram, semakin licin segalanya menghilang.
“Aku pikir aku bisa menjagamu dengan cara seperti itu. Tapi mungkin... mungkin kamu tidak butuh penjaga. Mungkin kamu butuh seseorang yang bisa mendengar, bukan sekadar memutuskan dan mengatur segalanya untukmu.”
Tangannya menyentuh jemari Sheana, lembut.
“Maaf ya... karena aku terlalu takut kehilanganmu, sampai-sampai aku mengurungmu.”
Sheana bergumam pelan dalam tidur. Dirga menahan napas. Jemarinya menggenggam lebih erat, seolah bisa mengulang waktu. Tapi waktu tidak pernah bisa diminta kembali.
Dan kini, ia bisa merasakan... Sheana semakin menjauh. Bukan secara fisik. Tapi jauh dalam cara yang tak bisa dijelaskan—jauh dalam cara yang membuat hatinya perlahan kosong.
“Aku masih ingin kamu bertahan, Na. Tapi kalau kamu harus pergi... bukan karena sakit, tapi karena aku... Aku janji, aku nggak akan tahan kamu lagi.”
Ia mengembuskan napas pelan. Jemarinya masih menggenggam tangan Sheana, hangat dan kecil. Terlalu kecil untuk semua beban yang harus ditanggung perempuan itu.
"Aku tahu kamu bisa pergi kapan aja. Dan aku nggak akan marah kalau itu terjadi."
Sudah lama sebenarnya ia bersiap untuk hari itu. Hari ketika Sheana memilih untuk menyerah... memilih untuk pergi. Meninggalkannya.
"Karena... mungkin dari awal aku cuma pelindung darurat. Bukan rumah yang kau pilih untuk menjadi tempat pulang."
Ia menghela napas, lebih dalam dari biasanya.
“Aku sengaja dingin... supaya kamu lelah dan mundur. Aku biarin kamu sendiri... supaya kamu sadar, aku bukan jawaban dari hidupmu.”
Tapi ternyata, saat perempuan itu mulai menjauh sungguhan, ada bagian dalam dirinya yang terhunus. Bukan karena cemburu, bukan karena posesif—tapi karena takut. Takut kalau laki-laki yang menggantikannya... tak cukup kuat menampung luka-luka Sheana.
"Ellan..."
Nama itu terdengar seperti bisikan paling pahit.
"Dia masih terlalu muda. Terlalu penuh gairah dan ketidakpastian."
Dirga mengelus rambut di kepala Sheana dengan lembut.