Setengah jam kemudian, Ellan berdiri di koridor lantai tujuh rumah sakit. Tangannya dingin, keringat membasahi pelipisnya.
Dari balik kaca ruang perawatan VVIP, dia bisa melihat tubuh Sheana. Terbaring pucat, bibirnya kering, rambutnya setengah tertata. Infus menancap di pergelangan tangan, monitor di sebelah kiri berdetak lambat namun stabil.
Dan di sisi ranjang itu—Dirga. Duduk tenang, menyuapkan sup bening ke mulut Sheana dengan sabar. Tangannya sesekali menyeka sudut bibir Sheana. Lalu membetulkan selimut dan membelai rambut istrinya, penuh kelembutan. Seolah luka masa lalu tak pernah terjadi.
Dirga mencondongkan tubuh, lalu mengecup kening Sheana pelan. “Tidur lagi, ya? Aku di sini,” bisiknya, nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas untuk menghantam dada Ellan dari jauh.
Sheana hanya mengangguk lemah. Ia tak melawan. Tak menarik diri. Justru terlihat nyaman—pasrah.
Ellan ingin melangkah masuk.
Ingin memeluknya, minta maaf, bilang kalau semua ini bukan salah Sheana. Tapi janji pada Grace seperti rantai tak kasat mata yang menahan langkahnya.
Tangannya bergetar. Dia ingin menjerit, ingin memaki dunia, tapi suara tak keluar. Bahkan napas pun seperti lupa cara mengalir.
Dirga bukan pria yang sempurna. Tapi dia adalah pria yang ada di samping Sheana saat dunia menjatuhkannya.
Ellan menunduk. Ada air mata jatuh, menghantam ubin rumah sakit.
---
Dalam Ruangan – Beberapa Menit Sebelumnya
Sheana belum tidur. Matanya sayu, tapi tetap terbuka menatap Dirga yang tengah menuangkan air ke gelas kecil.
"Aku... sempat mimpi aneh," gumam Sheana pelan.
Dirga tersenyum, duduk di tepi ranjang. "Tentang apa?"
"Ellan."
Dirga terdiam sepersekian detik. Tapi ia tetap tersenyum. "Apa yang kamu mimpikan?"
Sheana menoleh ke jendela, meski tahu hanya pantulan lampu rumah sakit di sana. "Dia nangis. Di depan pintu. Tapi aku nggak bisa buka. Tanganku lemah. Kakiku nggak bisa gerak. Dan dia hilang..."
Dirga menelan ludah. Tangannya menggenggam jari Sheana yang dingin. "Mungkin karena kamu belum ikhlas sepenuhnya."
"Kamu marah aku masih mikirin dia?" tanya Sheana pelan.
Dirga menggeleng. "Aku cuma sedih kamu masih luka."
Sheana menatap wajah suaminya. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapan itu—perasaan bersalah yang tak kunjung sembuh.
"Kamu terlalu baik, Ga..."
"Enggak. Aku cuma pengen kamu sembuh. Kalau kamu nggak bisa sayang lagi sama aku, nggak apa-apa. Aku cuma mau kamu hidup. Bernapas. Ketawa lagi."
Sheana menggigit bibir. Matanya berkaca.
"Kalau kamu masih pengen ninggalin aku nanti... setelah sembuh... aku bakal terima." Nada suara Dirga nyaris tak terdengar. Tapi di sanalah kejujuran terburuk bersarang.
"Yang penting kamu hidup, Na. Kamu harus hidup."
Dan Sheana akhirnya menangis. Bukan cuma karena Dirga, pria yang masih menerimanya tanpa syarat. Tapi juga karena seseorang di luar sana… yang mencintai dia dalam senyap, tanpa lagi bisa menyentuhnya.
---