Di dalam rumah, Sheana terduduk di sofa. Dirga duduk di samping, memegangi tangannya yang dingin. Windy berdiri di sisi lain ruangan, sesekali mengusap matanya dengan tisu.
Adnan mondar-mandir, napasnya masih memburu.
"Aku nggak mau denger alasan apa-apa lagi. Setelah semua ini, Sheana nggak boleh lagi ketemu anak itu. Titik."
"Papa..." suara Sheana lemah, tapi ada tekad yang tumbuh dari bawah luka. "Aku bukan anak kecil lagi. Aku yang tanggung semua."
"Kamu sakit! Kamu nyaris mati! Karena pilihan bodoh kamu!"
"Karena aku nggak bahagia!" bentak Sheana, untuk pertama kalinya. "Karena aku ngerasa kosong!"
Semua terdiam.
Sheana berdiri, meski tubuhnya bergetar. Ia memandang satu per satu orang di ruangan.
"Papa bisa marah. Mama bisa kecewa. Tapi aku yang jalanin hidupku. Dan aku... aku memang salah. Tapi bukan berarti kalian bisa sentuh aku seenaknya."
Adnan menahan napas. Windy tak berani bicara. Dirga hanya memandangi Sheana dengan tatapan berat.
Dan di luar sana, di dalam mobil yang perlahan menjauh, Ellan menangis dalam diam. Tapi hatinya tetap berbisik,
“Aku tetap sayang kamu, Shea... Walau dunia nggak kasih kita kesempatan.”
***
Pagi di rumah itu begitu senyap. Hanya bunyi sendok yang beradu pelan dengan gelas porselen. Aromanya teh chamomile, uapnya mengepul lembut, tapi rasanya hambar di lidah Sheana.
Ia duduk di meja makan sendirian. Tiga jenis roti tersaji di piring putih. Semangka yang dipotong dadu. Suplemen disusun rapi di kotak kecil transparan, lengkap dengan label hari. Dan secarik kertas, tertulis tangan Dirga.
“Minum setelah makan. Harus sesuai urutannya. Jangan duduk lama-lama.”
Sheana tersenyum kecut. Dulu, dia selalu ingin diperhatikan. Sekarang, semuanya terasa... steril.
Langkah kaki berat terdengar dari belakang.
“Sudah minum tehnya?” Dirga muncul, lengkap dengan setelan semi-formal yang tampaknya disiapkan untuk kerja remote hari ini. Tapi Sheana tahu — dia tidak akan benar-benar kerja. Dirga cuti demi mengawasinya.
“Udah,” jawab Sheana pelan.
Dirga mengecek suhu teh dengan jari, lalu duduk di seberangnya. “Masih terlalu hangat. Jangan buru-buru. Nanti lambungmu kambuh.”
“Ga…” suara Sheana nyaris seperti desahan napas.
“Ya?”
“Kamu gak harus kayak gini. Aku bisa urus diriku sendiri.”
Dirga tidak langsung menjawab. Ia mengangkat kotak suplemen, menunjuk bagian hari ini.
“Kamu lupa minum yang kuning.”