Dirga menarik napas berat. “Aku cuma nggak mau lihat kamu terluka.”
Sheana tertawa kecil. Sakit. Dingin. “Ironis. Karena nyatanya... kamu adalah luka itu.”
Dirga menahan napas. Tapi tak mundur. “Tetap aja, aku adalah pilihan terbaik kamu buat saat ini. Yang tahu kamu luar dalam. Yang berhasil jaga kamu sampai sekarang.”
Sheana menatapnya tajam. “Kamu bilang akan melepaskan aku saat aku jatuh cinta sama lelaki lain. Tapi kenapa kamu menjauhkan aku dari Ellan?”
“Dia nggak cocok buat kamu,” jawab Dirga. “Dia masih terlalu muda.”
“Muda bukan berarti belum dewasa, Ga.”
“Mungkin dia dewasa, tapi dia belum tentu bisa nerima kamu sepenuhnya.”
Sheana tersenyum getir. “Ellan udah terima aku apa adanya sejak lama.”
“Aku bilang... dia nggak akan bisa nerima keadaan kamu.”
“You think you’ve got it all figured out, huh? Kamu nggak tahu apa pun soal kami! Kamu nggak tahu gimana sayangnya Ellan sama aku. Pengorbanan dia. Usaha dia.”
Dirga menggeram. “Dia nggak akan bisa nerima kamu sepenuhnya, Na. Aku bisa pastikan itu.”
“Kamu yang nggak pernah bisa nerima aku sepenuhnya, Ga. Padahal kita nikah udah belasan tahun. Dan sejauh ini, Ellan... dia adalah orang yang paling mencintai aku.”
Wajah Dirga menegang. Ia menahan sesuatu di dadanya—tapi akhirnya pecah.
“Dia belum tentu tetap mencintai kamu… saat tahu rahim kamu udah diangkat dan kamu nggak akan bisa hamil lagi seumur hidup.”
Jebret.
Waktu seperti berhenti. Mata Sheana membelalak.
“What...?” Suaranya tercekat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pandangannya ke Dirga berubah. Penuh syok. Penuh luka. Penuh tanya.
Dirga menyesal saat kata-kata itu terlanjur lolos. Napasnya berat. Bahunya turun perlahan, sadar telah menyayat terlalu dalam.
“R-rahim aku…” suara Sheana bergetar. Seluruh tubuhnya mendadak lemas. “...diangkat?”
Kakinya nyaris goyah.
“Aku nggak bisa hamil lagi? Seumur hidup...?”
Dirga menatapnya dengan pandangan terendah yang pernah ia punya. Campuran rasa bersalah, keputusasaan, dan kasih yang datang terlambat.
“Apa yang udah kamu lakuin ke aku, Ga?”
Dirga menelan ludah. Lalu membuka suara, pelan tapi tajam dalam kejujurannya.
"Operasi itu... darurat. Waktu kamu pendarahan hebat. Dokter bilang nggak ada cara lain. Nggak ada waktu buat mikir panjang. Aku harus cepat memutuskan untuk memilih siapa yang harus diselamatkan. Anakku... Atau kamu. Dan aku pilih selamatin kamu. Merelakan anak pertama dan terakhir kita. Mengikhlaskan kesempatan untuk memiliki keturunan dan jadi orang tua."
Sheana menggeleng, perlahan. Suaranya patah.
"Dan kamu nggak bilang... apa-apa?"
"Aku mau melindungi kamu. Waktu itu kamu masih lemah. Shock. Aku nggak sanggup nambah luka lagi."