“Tapi gue juga tahu... mencintai dia bukan berarti gue boleh egois. Kalau benar-benar cinta, gue harus berani mundur.”
Grace memejamkan mata, menyandarkan kepala di pundak Sheana. Dadanya seakan bisa ikut merasakan sakit hati sahabatnya itu.
“Sometimes loving someone berarti rela melepaskannya, huh?”
Sheana tersenyum miris. “Iya... Tapi sakitnya luar biasa.”
Mereka terdiam lama. Hujan di luar turun makin deras. Lampu ruang tengah temaram, membiarkan luka mereka bersembunyi dalam cahaya samar.
“Besok... gue mau pulang ke rumah, Grace.”
Grace mendongak cepat. “Mau ngapain, Na? Lo yakin hati lo udah siap buat balik?”
Sheana menunduk, membiarkan air matanya jatuh langsung ke lantai. “Gue... gue rasa ini udah saatnya mengakhiri semua. Gue udah cukup berusaha menahan tali pernikahan yang menjerat hidup gue selama ini. Gue bertahan. Sekuat tenaga. Bahkan sekarang udah sampai berdarah-darah.”
Air mata Sheana mengalir lebih deras. Kali ini, ada isak yang terdengar. Ia melanjutkan kalimatnya.
“Harusnya gue lepasin dari sejak lama. Biar Dirga nggak terus ngerasa ini jadi beban buat dia. Gue udah mikir panjang setelah berhari-hari di sini, Grace. Dulu gue takut kalau pergi dari pernikahan ini. Sekarang gue malah takut kalau nggak pergi sekarang, gue yang nggak akan bisa bertahan.”
Grace memeluk Sheana. Tubuhnya gemetar mengiringi tangis mereka yang semakin kuat. Sebagai sahabat, hatinya ikut hancur melihat betapa tersiksanya Sheana saat ini.
“Lo serius, Na?”
Sheana mengangguk dengan bibir bergetar. “Gue harus pamit baik-baik. Nggak mau ninggalin luka. Gue mau akhiri semuanya dengan cara yang pantas.”
“And then what?”
“Gue akan pergi jauh. Mungkin kerja di tempat terpencil. Nggak tahu. Yang jelas... gue nggak mau jadi orang yang pura-pura bahagia di rumah tangga yang dingin. Yang udah rusak dalam hal apa pun. Dan gue juga nggak akan ganggu hidup Ellan lagi.”
Grace menggenggam tangan Sheana, lebih kuat dari sebelumnya.
“Whatever you choose, I’ll support you. Always. Tapi please, jangan pernah lagi mikir lo nggak berharga, ya? Karena lo... worth everything. Even when you’re broken, you’re still whole to me.”
Sheana memejamkan mata. Helaan napasnya berat, tapi lebih ringan dari sebelumnya.
Kini, ia ingin hidup lagi. Bukan karena keadaan berubah. Tapi karena ia siap menghadapi semuanya. Sekuat dan setegas mungkin. Bahkan ketika harus melepaskan satu-satunya lelaki yang membuat ia merasa hidup kembali.
Dan malam itu, Sheana menangis dalam pelukan Grace. Bukan hanya diam dan gemetar. Tapi benar-benar pecah. Grace hanya bisa mengusap punggung sahabatnya, menahan agar dirinya sendiri tidak runtuh.
“Lo bisa tinggal di sini selama yang lo mau,” bisik Grace. “Sampai lo siap. Sampai lo kuat lagi. Gue nggak akan pergi.”
Sheana memejamkan mata. Napasnya pelan. Tapi... ia merasa sedikit lebih lega.
***