Senja sudah turun ketika Sheana membuka pintu rumah yang selama ini ia huni bersama Dirga. Tak ada langkah tergesa. Tak ada suara pintu dibanting. Hanya embusan angin yang menyambut, mengibaskan helai-helai rambutnya yang sebagian menutupi mata.
Dirga sedang duduk di ruang tengah, masih dengan kemeja kantor yang sedikit kusut. Ia menoleh perlahan ketika mendengar suara pintu. Tatapan mereka bertemu. Hening. Lama.
Sheana menutup pintu dengan pelan dan melangkah masuk. Matanya sembab, namun sorotnya tak lagi kacau. Ada ketenangan yang aneh, semacam keteguhan setelah badai besar meluluhlantakkan segalanya. Sunyi menghiasi ruang yang penuh dengan kesesakan dalam dada pasangan itu.
Tak lama, mereka duduk berseberangan di ruang keluarga. Hanya sebuah meja yang jadi penghalang jarak.
"Aku pulang... bukan untuk tinggal," ucap Sheana, suaranya serak namun jernih.
Dirga tak menjawab. Ia hanya menatap Sheana dengan mata yang mulai berkaca.
"Aku udah mikir lama, Ga... dan aku rasa kita berdua udah tau arah pernikahan ini dari dulu." Sheana menarik napas, mencoba tersenyum, meski gagal. "Aku mau kita berpisah. Secara baik-baik."
Air mata jatuh tanpa bisa dicegah dari mata Dirga. Ia mengangguk pelan, seolah sudah tahu ini akan datang. Tapi tetap saja, saat ia melihat Sheana di hadapannya, menyampaikan kata-kata itu... hatinya seperti diremas.
"Aku yang salah, Na," gumam Dirga. "Aku biarin kamu sendiri selama ini. Aku biarin kamu hidup kayak tamu di rumahnya sendiri."
Sheana menggeleng. "Aku nggak datang buat nyalahin siapa-siapa. Justru aku mau bilang terima kasih. Karena kamu pernah nyelametin hidupku dulu. Karena kamu nikahin aku waktu keluargaku membutuhkan bantuan. Karena kamu... pernah jadi rumah buat aku."
Tangis Dirga makin deras, namun tak ada suara. Ia menunduk, bahunya berguncang pelan.
"Selamat ya, Na," lirih Dirga. "Setelah berpisah dariku, kamu bisa hidup bahagia sama Ellan. Kamu pasti akan datangi dia, kan?"
Sheana tertawa pelan. Pahit. Suaranya gemetar.
"Kamu pikir aku minta cerai karena mau nikah lagi? Karena mau melanjutkan hubungan aku sama Ellan?"
Sheana menatap Dirga dengan mata yang penuh luka. "Buat kamu aja aku nggak pantes, Ga. Apalagi buat Ellan. Dia sama kayak kamu, anak tunggal. Calon pewaris yang diharapkan punya penerus. Dia masih muda. Kasihan kalau hidupnya sia-sia dengan memilih perempuan tanpa rahim kayak aku."
Ia menarik napas berat. "Dia... bisa dapat perempuan muda yang setara dan memberi dia segalanya. Bukan dengan aku yang udah nggak punya apa-apa lagi selain diriku sendiri.”