Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #72

Bahagia Itu... Overrated

Ellan hanya diam. Tak memberi respons.

“Kamu dan Mahi sudah saling mengenal cukup lama. Hubungan kalian juga sudah disetujui semua pihak. Setelah apa yang terjadi—” Alvino ragu melanjutkan. “Aku cuma khawatir, kamu... berubah pikiran lagi.”

Kalimat itu menggantung di udara. Terlalu gamblang. Terlalu telanjang.

Tapi justru reaksi Ellan-lah yang membuat ruangan itu seperti membeku.

Ia menatap lurus ke arah meja di depannya. Suaranya pelan, nyaris tanpa jiwa, tapi cukup jelas untuk memukul kesadaran semua orang di sana.

“Kenapa nggak langsung nikah aja?”

Alvino mematung.

Mahi tertegun. “Ell?” suaranya gemetar, ragu dia sedang bermimpi indah atau mimpi buruk.

“Kita lewati aja tunangan,” lanjut Ellan, kali ini menoleh. Tatapannya tajam, tapi kosong. “You want it done, right? Let’s just get it over with. Biar cepet.”

Alvino menelan ludah. Matanya sempat melirik Mahi, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Tapi yang lebih mengganggu bukanlah kata-kata Ellan, melainkan cara ia mengucapkannya. Seperti seseorang yang… sudah tidak ingin hidup, tapi tetap memaksakan diri untuk bertahan.

“Kamu... serius, Ell?” tanya Alvino akhirnya, suaranya pelan tapi terdengar seperti ledakan kecil di ruang sunyi itu.

Ellan hanya mengangguk. “Kapan aja. Aku ikut.”

Mahi menggenggam tangannya. “Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu dulu, Ellan... seriously. It doesn’t have to be rushed.”

“Aku siap,” potong Ellan datar. “Aku nggak akan berubah pikiran lagi.”

Jawaban itu yang paling ditunggu selama ini. Tapi justru terdengar seperti kalimat paling menyedihkan dalam hidup mereka. Bukan karena keraguan, tapi karena tidak ada rasa sama sekali. Itu seperti… kalimat perpisahan dari seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Alvino memaksakan senyum. “Kalau begitu, kita mulai persiapannya minggu ini. Aku yang akan urus semua.”

Ellan mengangguk sekali lagi. Kemudian berdiri. “Aku ke kamar dulu.”

Ia melangkah pergi tanpa menoleh. Tanpa pamit. Hanya jejak langkah kosong yang tertinggal di ruangan.

Alvino dan Mahi tetap diam di tempat. Saling bertukar pandang dengan campuran lega dan rasa yang sulit dijelaskan.

“Daddy…” bisik Mahi akhirnya, suaranya ragu. “He’s different.”

Alvino mengangguk perlahan. Tatapannya masih menempel di anak tangga yang baru saja dilewati putranya.

“Iya,” gumamnya lirih. “Dia bukan Ellan yang dulu.”

***

Hari-hari berikutnya bergerak seperti kaset yang dipercepat. Alvino sibuk dengan urusan vendor, undangan, dan nama-nama tamu kehormatan. Mahi sibuk mencoba mencari gaun terbaik, make-up artist ternama, dan fotografer paling mahal.

Lihat selengkapnya