Dirga melirik Sheana sekilas.
“Mama salah,” lanjutnya. “Dari awal, yang merusak pernikahan ini... bukan Sheana. Tapi aku.”
Dian mengerutkan kening. “Dirga, kamu masih mau bela dia—”
“Aku suaminya, Ma. Aku yang gagal. Aku yang... nggak pernah menyentuh dia dengan cinta. Aku yang membiarkan dia hidup sendiri di rumah ini. Aku yang biarin dia bertahun-tahun nggak merasa dicintai.”
Pandangannya jatuh pada Sheana. Lalu kembali menatap ibunya.
“Dan sekarang, dia minta cerai... karena dia akhirnya cukup kuat untuk pergi. Bukan karena dia egois. Tapi karena aku nggak pernah benar-benar menjadi tempat untuk pulang.”
Dian membeku.
“Dan tentang dia nggak bisa punya anak...” Dirga menghela napas. Matanya mulai memerah. “Mama pikir itu hal yang layak buat dijadikan senjata? Mama tahu nggak... yang membuat Sheana nggak bisa hamil lagi itu karena aku yang udah lancang mengambil keputusan untuk mengangkat rahimnya waktu dia pendarahan dulu. Dan itu terjadi kapan? Saat dia sedang mengandung anakku.”
Mata Dian melotot. Tangannya refleks menutup mulut. Terkejut dengan pengakuan putranya.
Dirga melanjutkan. “Sheana bukan beban, Ma. Dia satu-satunya orang yang pernah... memberikan hal paling berharga untuk hidupku. Dia bukannya mandul atau nggak bisa hamil. Hanya saja... mungkin aku yang kurang beruntung bisa mendapatkan anak darinya.”
Dian terdiam. Tapi wajahnya mulai memucat. Belum pernah anaknya berbicara setegas itu. Apalagi... untuk membela perempuan yang selama ini tak pernah ia anggap layak.
“Mama bilang dia nggak berguna?” Dirga melanjutkan, suaranya pelan. “Justru karena dia, aku sadar betapa jahatnya aku. Betapa kosongnya hidup ini tanpa seseorang yang benar-benar sabar dan mencintai tanpa pamrih.”
Dirga menghela nafas sejenak. Mengurangi beban sesak yang menghimpit dadanya.
“Mama pikir Sheana itu munafik?”
Ia tertawa pendek. Pahit. “Justru aku yang munafik. Aku yang sengaja bersikap dingin. Membiarkan ia merasa kesepian. Sendirian. Membiarkan hatinya hancur saat Mama menghina dia sementara aku sengaja diam. Hanya agar dia menyerah dan meninggalkan aku.”
Sheana menunduk. Bahunya sedikit bergetar, tapi ia tak menangis.
Dian tidak bisa berkata apa-apa. Dirga hanya berdiri di sana, tak meminta pembelaan, tak minta pengertian. Hanya... mengakui semuanya.
“Aku akan urus semuanya,” ucap Dirga akhirnya. “Kalau Mama nggak bisa terima dia, itu urusan Mama. Tapi jangan pernah hina dia lagi di depanku. Aku nggak akan biarin siapa pun menyakiti Sheana lagi. Bahkan... diriku sendiri.”
Hari itu, mungkin untuk pertama—dan terakhir kali—Dirga berdiri sepenuhnya untuk Sheana.
Bukan lagi sebagai suami.
Tapi sebagai lelaki yang akhirnya mengerti... perempuan itu pernah mencintainya lebih dari siapa pun, dan ia terlalu lama diam.