Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #74

Antara Gaun Putih dan Luka Lama

Langit malam menggantung rendah di atas hotel bintang lima yang jadi langganan tempat para pengusaha kelas atas berkumpul. Interior ballroom-nya elegan, tak berlebihan. Lampu gantung kristal menggantung di tengah ruangan, memantulkan sinar hangat ke segala arah. Musik klasik mengalun lembut dari sudut ruangan.

Acara malam itu tidak punya judul. Hanya disebut sebagai “Private Dinner” antara para petinggi perusahaan yang terlibat dalam beberapa proyek besar. Undangan terbatas. Tidak ada media. Hanya nama-nama yang sering tercetak di kolom ekonomi dan pemilik wajah yang sering muncul di balik kesuksesan orang lain.

Ellan berdiri di samping ayahnya, mendengarkan setengah hati obrolan tentang kontrak, saham, dan diversifikasi bisnis ke sektor digital. Tangan kanannya digenggam Mahi. Gadis itu tampak sangat cocok dengan gaun putih keemasan yang memeluk tubuh rampingnya. Senyumnya manis, sorot matanya tajam. Ia tahu malam itu akan jadi momen penting.

Dan benar saja, saat seorang rekan bisnis Alvino bertanya ringan soal kabar keluarga, lelaki paruh baya itu tertawa kecil dan menepuk bahu Ellan.

“Oh, ini? Ellan dan Mahi akan menikah dalam waktu dekat. Kami sedang proses finalisasi tanggal.”

Ucapan itu meluncur seperti obrolan santai. Tidak ada mikrofon, tidak ada panggung. Tapi efeknya... seperti bom kecil yang meledak dalam senyap.

Mahi menggenggam tangan Ellan lebih erat dan menautkan lengannya ke lengan pemuda itu. Ia bahkan mencondongkan tubuh, menyandarkan kepala ke bahunya. “We’re finally doing this,” bisiknya pelan.

Ellan tak menjawab.

Seorang pria muda yang seharusnya menyambut kabar bahagianya… hanya berdiri seperti patung.

Di tempat berbeda, Sheana sedang memasang anting terakhirnya di depan cermin. Gaun panjang berwarna deep emerald yang ia kenakan terlihat mewah di tubuhnya. Rambut disanggul sederhana, riasan tipis tapi elegan. Ia terlihat tenang, tapi dalam mata itu ada kebimbangan yang belum sepenuhnya hilang.

“Aku bener-bener harus ikut, Ga?” tanyanya lirih, menatap Dirga yang berdiri di ambang pintu kamar mereka.

Dirga mengenakan jas hitam dengan dasi perak. Wajah pria itu terlihat kalem, tapi matanya menyiratkan harap. “Tolong temenin aku malam ini. Mungkin… ini yang terakhir kalinya kamu akan hadir di acara kayak gitu sebagai istriku.”

Sheana terdiam. Napasnya tertahan. Kalimat itu lebih menghantam daripada yang bisa dia duga.

“Aku nggak butuh kamu pura-pura senyum,” lanjut Dirga, suaranya serak tapi jujur. “Aku cuma pengen kamu ada di sampingku malam ini. Itu aja.”

Sheana menunduk. Kemudian mengangguk pelan. “Oke. Aku ikut.”

Dan ia benar-benar bersiap. Bukan karena ingin mengesankan siapa pun. Tapi karena ia ingin malam itu jadi malam terakhir di mana ia berdiri sebagai Sheana Bimantara… dengan kepala tegak dan anggun.

---

Saat mereka tiba di venue, beberapa kepala langsung menoleh. Pasangan itu tampil begitu serasi, begitu ideal. Seolah tak ada keretakan sedikit pun. Tapi hanya mereka yang tahu, tangan yang saling menggenggam itu bukan lagi karena cinta—melainkan karena saling menghormati luka.

Saat berjalan melewati meja utama tempat Ellan dan Mahi berada, tubuh mereka saling berpapasan.

Mahi langsung merangkul lengan Ellan lebih erat. “Look, it’s your ex-client,” bisiknya geli. Tapi Ellan tidak menanggapi.

Lihat selengkapnya