Sheana mengangguk. “Aku harus. You too, Ga. Kamu juga harus baik-baik aja.”
Mereka menghabiskan sore itu dengan berkendara keliling kota tanpa tujuan, mengenang masa lalu dengan senyum tipis dan sesekali tawa renyah. Tidak ada lagi ketegangan. Hanya dua orang dewasa yang berbagi babak terakhir dari sebuah cerita.
Malam harinya, Dirga mengantar Sheana pulang. Bukan ke rumah mereka berdua, melainkan ke sebuah gedung apartemen. Dirga tahu, Grace, sahabat Sheana, sudah menyiapkan segalanya.
“Aku turun di sini aja,” ucap Sheana.
Dirga menghentikan mobil. Sheana menoleh padanya.
“Terima kasih untuk hari ini, Ga,” bisik Sheana. “Aku... aku sangat menghargainya. Thank you for everything.”
Dirga mengangguk. “Sama-sama, Na. Jaga dirimu baik-baik.”
Sheana membuka pintu mobil. Melangkah keluar. Ia tidak menoleh lagi.
Dirga hanya menatap punggungnya yang menghilang masuk ke lobi apartemen. Lalu ia menghela napas panjang.
Satu pintu tertutup. Dan satu lagi... baru saja terbuka.
Dirga menyetir dalam keheningan. Ia tahu Sheana membutuhkan ruang untuk menenangkan diri, dan Grace adalah orang yang tepat untuk menemaninya.
Malam itu, Jakarta menjadi saksi bisu dari sebuah perpisahan buat Dirga dan satu awal yang hampa bagi Ellan. Semuanya terasa menyesakkan.
Besok, lusa, atau mungkin beberapa hari lagi Sheana akan kembali ke rumah mereka, mengemasi sisa-sisa kenangan. Dan di hari yang sama, Ellan akan memulai perjalanannya sendiri. Jalan yang berbeda, tujuan yang berbeda, tapi sama-sama menuju ketidakpastian.
Hari ini dua hati dikubur dalam cara yang berbeda.
Satu disaksikan doa dan tawa,
Satu dibiarkan pergi oleh palu dan sunyi.
***
Pintu kamar pengantin di suite mewah Hotel Adiwangsa tertutup pelan, meninggalkan hiruk pikuk pesta di belakang. Lampu temaram dari nakas memancarkan cahaya lembut, menyinari buket bunga mawar putih yang masih segar di meja samping. Gorden tebal sudah tertutup rapat, memblokir segala cahaya dari luar, seolah ingin menyembunyikan realitas di dalamnya.
Ellan berdiri di ambang pintu kamar mandi, baru selesai membersihkan diri. Tuxedo yang membelenggunya seharian sudah berganti piyama sutra berwarna abu-abu gelap. Wajahnya bersih, rambutnya masih sedikit lembap, tapi tatapannya... kosong. Ia membuka pintu balkon, membiarkan angin malam menerpa kulitnya. Dingin. Seperti hatinya.
Suara gemerisik kain terdengar dari arah ranjang. Mahi. Gadis itu sudah mengganti gaun pengantinnya yang mewah dengan lingerie sutra berwarna peach yang tipis. Rambutnya tergerai indah, riasan di wajahnya sudah dihapus, menyisakan kecantikan natural yang memikat. Ia berbaring di bawah selimut, menunggunya. Senyumnya tipis, penuh harap.
“Ell?” panggil Mahi lembut. Suaranya terdengar seperti bisikan di tengah keheningan malam. “Kamu kenapa masih di luar?”