Ellan menghela napas. “Nggak... aku nggak akan ngejar Sheana lagi, Dad.”
Alvino mengangkat alis, terkejut dengan pengakuan itu. “Kenapa?”
“Aku... tahu kapan harus berhenti,” jawab Ellan. “Mungkin Sheana memang cintaku. Tapi itu bukan berarti aku harus terus lari ke arahnya. She’s not mine. Dan dia nggak akan pernah jadi milikku.”
Alvino terduduk kembali. Bahunya jatuh. Sorot matanya tak lagi marah. Tapi kosong. “Lalu... kamu mau apa, Ell?”
“Memperbaiki diriku sendiri,” jawabnya pelan. “Nggak ada lagi yang perlu dipertahankan. Nggak ada yang bisa dikejar. Aku cuma... mau berhenti. Dan melanjutkan hidup.”
Sunyi sejenak.
“Aku udah menghancurkan cukup banyak hal,” lanjut Ellan, suaranya lelah. “Aku udah melukai Mahi. Udah bikin Daddy malu. Dan Sheana... dia udah memilih jalannya sendiri.”
Alvino hanya mengangguk, mencoba mencerna perubahan sikap Ellan. Anaknya yang keras kepala, kini tampak begitu pasrah.
“Aku akan pergi ke London, Dad,” lanjut Ellan. “Aku akan melakukan apa yang Daddy mau. Aku akan belajar. Melanjutkan perusahaan. Dan... aku akan coba mencari tahu siapa diriku sekarang.”
Alvino menatap putranya. Ada campuran kekecewaan dan harapan di matanya. “Baiklah. Kalau begitu, persiapkan dirimu.”
Ellan hanya mengangguk. Ia tahu, ini bukan awal yang ia impikan. Ini adalah akhir dari sebuah babak yang penuh kesalahan. Dan awal dari ketidakpastian yang dingin.
***
Di hari-hari berikutnya, hidup bergerak dengan kecepatan yang memabukkan bagi sebagian orang, dan melambat hingga terasa tak berujung bagi yang lain.
Proses perceraian Ellan dan Mahi berjalan nyaris tanpa hambatan. Nama besar keluarga Wiradipta Ditya, ditambah dengan desakan Alvino dan kesediaan Mahi untuk tidak mempersulit, membuat segalanya terasa efisien. Tidak ada drama pengadilan, tidak ada tudingan balik. Hanya kesepakatan-kesepakatan yang dibumbui permohonan maaf. Ellan menjalani semuanya dengan pasrah.
Ia datang, ia menunduk, ia menandatangani. Setiap kertas yang ditandatangani adalah satu bab yang tertutup. Satu lagi janji yang tak akan pernah bisa ditepati. Mahi tetap tenang, anggun, bahkan saat harus menghadapi mata-mata penasaran dari kerabat atau media yang berhasil mencium kabar ini. Ia adalah wanita berkelas yang keluar dari badai dengan kepala tetap tegak.
Di sisi lain kota, Sheana mengurung diri di apartemen Grace. Jauh dari hiruk pikuk, jauh dari sorot mata penghakiman. Grace adalah pelabuhan yang sempurna. Ia tidak banyak bertanya, hanya menyediakan bahu untuk bersandar, kopi panas, dan keheningan yang menenangkan.
Sheana menghabiskan hari-harinya dengan merenung, membaca buku, dan sesekali bicara panjang dengan Grace tentang segala hal yang tak pernah ia ungkapkan. Air mata mengering, digantikan oleh kesadaran yang pahit namun melegakan. Ia sudah bebas. Sebuah babak baru menantinya, dan kali ini, ia akan memilih jalannya sendiri, bukan jalan yang dipaksakan atau jalan yang ia pilih karena rasa bersalah.
***