Ellan mengangguk. “Iya. Udah cukup.”
Mereka berdua tak langsung melanjutkan percakapan. Alvino menyetir pelan, membiarkan pagi berbicara sendiri lewat kaca jendela mobil yang belum sepenuhnya terbuka pada cahaya.
Setelah beberapa menit, suara Alvino kembali terdengar. “Kamu yakin masih mau ke London?”
Ellan mengangguk pelan. “Iya. Aku butuh waktu buat... nggak mikirin semua ini.”
“London bukan tempat buat kabur, Ell,” ucap Alvino, masih menatap jalan. “Kalau kamu ke sana cuma buat lupa, kamu akan tambah hancur.”
“Aku ke sana... buat mulai lagi,” kata Ellan, nadanya tenang. “Bukan karena aku kuat. Tapi karena kalau aku diam di sini, aku nggak akan pernah bisa berhenti ngeliat ke belakang.”
Alvino menoleh sekilas. Ada sesuatu dalam mata pria itu yang tak terucap—kekecewaan, mungkin. Atau rasa bersalah. Tapi tak ada lagi bentakan. Hanya... beban.
“Kamu pernah mikir... buat nyari dia lagi?”
Ellan tak langsung menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, lalu menggeleng.
“Nggak. Aku nggak akan ganggu dia lagi.”
“Karena kamu udah nyerah?”
“Karena aku tahu... aku bukan rumahnya.”
Suara Ellan lirih. Tapi pasti.
Tak lama setelah mobil Ellan menjauh, sebuah taksi berhenti tepat di depan gerbang rumah Dirga. Pintu depan terbuka, dan Sheana keluar, diikuti Dirga yang membawakan dua koper dan sebuah tas tangan besar. Wajah Sheana terlihat lebih tenang, namun masih ada jejak kelelahan.
"Kamu yakin nggak mau kuantar sampai bandara, Na?" tanya Dirga, suaranya lembut. Ia meletakkan koper-koper Sheana di bagasi taksi.
Sheana tersenyum tipis, menggeleng. "Nggak perlu, Ga. Aku... aku ingin sendiri. Grace aja nggak aku izinkan nganterin “
"Tapi kamu jadi sendirian," lanjut Dirga, menatap mata Sheana. Ada kekhawatiran di sana.
"Aku tahu. Tapi aku memang lagi butuh waktu untuk sendiri," jawab Sheana, sorot matanya tegas. "Dan kamu... kamu juga harus melanjutkan hidupmu."
Dirga mengangguk, mengerti. Ia menatap Sheana lekat-lekat, ada begitu banyak hal tak terucap di mata mereka. Perpisahan semalam, keintiman yang tak terduga, semua itu kini hanya menjadi kenangan.
"Jaga dirimu baik-baik, Na," kata Dirga, suaranya pelan.
"Kamu juga, Ga."
Sheana memberikan pelukan singkat dan langsung masuk ke taksi. Begitu duduk, ia menoleh ke luar jendela, menatap Dirga yang masih berdiri di sana, memandanginya. Senyum tipis terukir. Lalu taksi bergerak, perlahan menjauh, membawa Sheana menuju babak barunya. Dirga tetap berdiri di tempat, menatap hingga taksi itu hilang dari pandangan.
***
Bandara Internasional Soekarno-Hatta ramai seperti biasa di pagi hari. Alvino berjalan di samping Ellan, menuju area check-in internasional. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali menatap putranya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada kekecewaan mendalam, tapi juga sedikit kelegaan melihat Ellan yang kali ini tampak benar-benar pasrah.