Ellan hanya mengangguk pelan, tanpa minat. “Kalau Daddy senang, aku senang.”
Jawaban itu membuat Alvino terdiam. Anaknya yang dulu berani kabur demi cinta, kini begitu pasrah. Ia sadar, luka Ellan belum sembuh. Hati itu terkunci rapat.
Dan hanya satu orang yang memegang kuncinya. Sheana.
Nama itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.
Dan Alvino… sebenarnya sudah tahu.
Tahu sejak dua tahun lalu, ketika kabar perceraian Dirga dan Sheana beredar di lingkaran bisnis secara halus dan diam-diam.
Tahu bahwa rumah tangga itu runtuh bukan karena skandal, tapi karena alasan yang terlalu pribadi untuk dibicarakan.
Dan tahu juga bahwa Ellan…
tidak pernah benar-benar move on.
Dulu, ia menolak Sheana bukan karena benci.
Tapi karena dia istri dari partner bisnis sekaligus sahabat lamanya.
Ada etika. Ada gengsi.
Ada hal-hal yang menurut Alvino—pada masanya—tidak boleh dilanggar.
Tapi sekarang?
Sekarang ia melihat anaknya duduk di meja makan seperti orang yang hidup setengah saja.
Tenang, tapi tidak bahagia.
Berhasil, tapi kosong.
Dewasa, tapi patah.
Ia menghela napas, pelan—pasrah.
Anaknya sudah berusaha berubah, tapi hatinya tertinggal di masa lalu.
Mungkin… yang Ellan butuh sekarang bukan pengganti,
melainkan kesempatan kedua.
Karena ada kehilangan yang tak bisa digantikan—
dan ada cinta yang tak bisa dipadamkan.
Termasuk cinta Ellan kepada Sheana.
Malam itu, Alvino memandangi foto keluarga lama—dirinya, Ellan, dan mendiang istrinya. Di foto itu, Ellan masih remaja, tersenyum lebar dengan mata yang menyala. Sekarang? Mata itu sudah mati.
Ia sadar. Ia tak hanya ingin membesarkan pewaris. Ia ingin menyelamatkan anaknya.
Secara diam-diam, Alvino mulai bergerak. Menggunakan seluruh relasinya, ia mencari keberadaan Sheana. Tidak mudah. Sheana menghilang tanpa jejak. Tapi Alvino tak pernah menyerah jika menyangkut putranya.
Akhirnya, informasi itu datang. Sheana Aretha Viany, kini relawan di Yayasan Aksara Bumi, pedalaman Ketapang, Kalimantan Barat.