Dirga menggeleng. “Aku nggak tahu. Setelah perceraian kami, dia menghilang. Bahkan keluarganya… nggak tahu. Orang tuanya nggak mengakui dia lagi, karena memutuskan bercerai denganku. Semua yang dilakukan Sheana seolah jadi aib bagi mereka.”
Ellan mencengkeram gelasnya erat-erat. Rasa bersalahnya kini berlipat ganda. Ia meninggalkan Sheana, menganggap wanita itu sudah memilih hidup bahagia. Padahal, Sheana sedang menanggung semua kesakitan sendirian.
“Kenapa kamu biarin dia pergi dan menanggung semua kesedihan itu sendiri, Ga?” tanya Ellan geram.
Ia merasakan sesuatu yang retak di dadanya. Campuran marah, sedih, dan penyesalan membanjiri wajahnya.
“Kamu kenal dia, Ell. Sheana itu nggak pernah mau dikasihani sama siapa pun.”
Dirga menatap gelasnya lama, seolah ada sesuatu di dasar minuman itu yang ingin ia hapus. “Aku tahu dia sengsara,” katanya pelan. “Tapi aku juga nggak tahu gimana caranya bikin dia bahagia tanpa nyakitin dia lebih jauh.”
“Kamu pikir diam itu bisa nyembuhin?” balas Ellan dengan nada rendah, tapi tajam. “Kamu biarin dia pergi gitu aja. Kamu tahu dia nggak punya siapa-siapa.”
Dirga tersenyum getir. “Kamu salah, Ell. Justru karena aku tahu dia nggak punya siapa-siapa, makanya aku biarin dia pergi. Karena kalau aku tahan, dia akan terus nyalahin dirinya sendiri. Dan aku... nggak sanggup lihat itu.”
Ellan menggeleng pelan. “Kamu tahu, kadang aku benci sama kamu. Tapi sekarang aku juga ngerti... kenapa Sheana nggak pernah benar-benar benci kamu.”
Dirga diam sejenak, lalu menatap Ellan dengan sorot mata yang aneh — campuran antara simpati dan rasa bersalah yang dalam. “Kamu masih cinta sama dia, ya?”
Ellan terdiam, tapi jawaban itu sudah jelas dari matanya.
Bahkan dari caranya menarik napas pun, terlihat betapa nama itu masih jadi pusat gravitasi hidupnya.
Dirga tersenyum kecil, tapi senyum itu seperti luka yang terbuka lagi. “Aku tahu. Dari dulu aku tahu. Kalau kamu nggak akan bisa ngelupain dia.”
“Kamu nggak marah?” tanya Ellan perlahan.
“Marah?” Dirga tertawa pelan. “Aku marah waktu pertama kali tahu. Tapi lama-lama aku sadar... mungkin itu takdir. Mungkin Sheana memang ditakdirkan buat kamu. Cuma kalian itu ketemu di waktu yang salah.”
Ellan menatapnya lama. “Kalau emang kayak gitu, kenapa kamu nggak biarin dia bersamaku dari dulu?”
Dirga menatap lurus ke depan. “Karena waktu itu aku belum siap. Aku pikir aku masih bisa memperbaikinya, masih bisa bikin dia bahagia. Tapi... ternyata aku cuma memperpanjang lukanya.”
Hening lagi.