Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #84

Rute Kenangan

Ellan menatapnya. “Kalau ini cuma mainan, gue nggak bakal balik ke sini.”

“Tapi lo sekarang adalah laki orang, Ell. Bukannya lo udah nikah sama Mahi?”

​“Gue udah cerai sama Mahi,” jawab Ellan cepat.

​Grace tercengang. “Apa?”

​“Gue udah cerai. Bahkan dari sebelum gue pergi ke London. Kami pisah baik-baik.” Ellan menatap penuh harapan. “Gue nggak main-main, Grace. Gue udah free.”

​Grace menatap lama, seperti sedang melihat dua versi Ellan sekaligus — yang dulu cuek, dan yang sekarang tenang tapi rusak di dalam.

“Ell, denger ya,” katanya lembut. “Gue terharu. Serius. Kalau aja gue punya hak buat ngasih tahu, gue pasti bakal bantu lo. Tapi ini soal janji. Gue janji bakal lindungin Sheana, bahkan dari orang yang katanya cinta sama dia.”

Ellan mengepalkan tangan. “Lo pikir gue bakal nyakitin dia?”

Grace menatapnya tajam. “Nggak. Tapi cinta lo bisa.”

Keheningan turun di antara mereka. Seperti pengingat bahwa hidup terus berjalan, meski beberapa orang masih terjebak di masa lalu.

Ellan menunduk. “Gue nggak akan nyerah, Grace.”

Grace tersenyum miring. “Lo selalu gitu.” Ia berbalik sebentar, mengambil selimut kecil dari sofa. “Tapi kali ini... gue bener-bener minta maaf karena nggak bisa bantuin lo.”

Ellan terdiam, menatapnya. “Lo beneran nggak bisa ngasih petunjuk sedikit pun?”

Grace menghela napas panjang, lalu menatapnya lembut. “Ell... kalau gue bilang dia bahagia, lo percaya?”

Ellan menelan ludah. “Gue pengen percaya.”

“Ya udah,” kata Grace pelan. “Pegang itu aja dulu. Kadang orang pergi bukan karena benci, tapi karena mereka pengen bisa sembuh. Mungkin itu yang dia lakuin.”

​Ellan menunduk. Kekalahan yang pahit. Ia tahu, setelah semua yang Sheana lalui, ia tak bisa memaksa Grace.

​Ia mengangguk pelan. “Gue ngerti.”

​Ellan berbalik, hendak melangkah pergi.

​“Ellan.”

​Grace memanggilnya. Ellan menoleh.

​ Wanita itu tersenyum tipis, kali ini senyum yang lebih ramah. Ia menepuk lembut gendongan bayinya.

​“Lo udah dewasa. Keliatan kok. Look,” Grace mengangkat bahu. “Kalau emang kalian jodoh, semesta pasti akan ngasih jalan. Asal bukan dari gue. I’m sorry.

​Ellan mengangguk lemah. Pandangannya tertunduk, bahunya merosot.

Grace tersenyum kecil. “Kalau suatu hari lo bener-bener ketemu dia lagi... jangan bikin Sheana jatuh dua kali.”

Ellan mendongak, menatap wajah Grace yang bibirnya masih melengkung tipis. “Gue janji. Thanks, Grace,”

Ellan pamit, dan Grace mengantarkannya sampai ke pintu.

Ia pergi dengan langkah berat. Tapi di matanya ada sesuatu yang belum mati — tekad, atau mungkin sisa cinta yang masih keras kepala.

***

Hujan baru selesai turun ketika Ellan keluar dari basement parkir. Udara malam Jakarta dingin, masih menyisakan aroma aspal basah yang bercampur lampu-lampu kuning rapi jalan raya. Setelan jasnya sudah dilepas dan disampirkan di lengan. Kemeja putihnya digulung sampai siku, rambutnya tak tersentuh angin.

Ia berdiri sebentar, kedua tangan masuk ke saku celana.

Ada sesuatu di matanya—lelah, tapi juga yakin. Seperti seseorang yang akhirnya memutuskan untuk berhenti lari dan menengok luka yang sudah ia simpan bertahun-tahun.

Let’s start,” gumamnya lirih.

Ia memutuskan malam itu...

Lihat selengkapnya