Ellan tak peduli seberapa jauh. Ia meninggalkan Jakarta, menempuh perjalanan menuju Lembang, tempat pelarian mereka.
Perjalanan empat jam. Sudah jauh lewat tengah malam. Kabut tipis menyelimuti jalan khas dataran tinggi. Pohon pinus bergoyang dan udara dingin menampar kulitnya.
Rumah kecil di pinggir bukit itu masih sama—sunyi, dikelilingi kabut dingin yang dulu terasa romantis.
Ellan turun dari mobil, menghirup udara Lembang yang dingin dan bersih.
Ia berdiri lama di depan rumah kayu itu. Rumah yang ia tinggalkan tiga tahun lalu. Ia tahu, begitu ia melangkah, semua kenangan akan datang sekaligus seperti hantaman gelombang.
Pintu berderit saat dibuka. Rumah itu gelap, dingin, sunyi.
Tidak ada apa-apa.
Tapi Ellan melihat semuanya.
Ia melihat Sheana memakai kaosnya yang kebesaran duduk di lantai, selonjor, makan keripik sambil menonton film romantis di ponsel.
Ia melihat dirinya sendiri memeluk wanita itu dari belakang.
Ia melihat tawa mereka. Suara mereka. Keintiman yang kecil tapi dalam.
Hidup terasa sederhana, murni, dan penuh tawa.
Sayangnya kini hanya tinggal bayangan.
Ellan masuk, menutup pintu perlahan.
Ia menoleh ke arah jendela kecil di kamar mandi. Di sana, ia dulu melihat Sheana menutupi tubuhnya saat ia mengajarkan Sheana mencuci baju. Saat Sheana menyelinap ke pelukannya hanya berbalut pakaian dalam, saat ia mencium Sheana di tengah tumpukan cucian.
Sekarang, hanya ada kegelapan.
Dan di ruang tamu kecil itu, ia jongkok.
Lalu duduk, bersandar ke dinding.
Persis seperti dulu.
Ia mengusap wajahnya dengan dua tangan.
“Three weeks…” suaranya pecah. “Tiga minggu, Shea… tapi kayak seumur hidup.”
Ia menatap ruangan itu.
Tidak ada Sheana.
Tidak ada kehangatan.
Tidak ada suara panci atau tawa saat berdebat soal nasi dan mie instan.
Tapi kenangan itu hidup di setiap sudut.
Di meja dapur.
Di lantai tempat mereka balapan makan camilan.
Di kamar mandi tempat mereka saling corat-coret busa sabun.
Di mesin cuci tua yang jadi saksi ciuman mereka yang terseret gairah.
Ellan menutup mata.
Tenang, tapi hancur.
Tanpa suara, tanpa drama.
Air mata mengalir diam, jatuh perlahan ke lantai.