Bu Risa menggeleng. “Ini permintaan langsung dari Chairman, Sheana,” kata Bu Risa. “Katanya dia butuh seseorang yang bisa diandalkan, cerdas, dan yang paling penting, nggak terlalu kaku.”
Sheana tercengang. “Tapi kenapa saya? Saya bahkan nggak punya pengalaman untuk mendampingi pimpinan tertinggi perusahaan sebesar itu, Bu.”
Bu Risa tersenyum. “Alasannya sederhana. Beliau bilang kamu punya pengalaman komunikasi yang matang dan bisa menangani tamu korporasi dengan baik.”
Sheana terdiam. Padahal ia merasa dirinya hanya staf lapangan biasa.
“Kamu akan bertindak sebagai personal liaison. Semacam asisten pribadi sementara. Kamu dampingi CEO dari awal kedatangan sampai proyek selesai. Nanti kamu yang akan menyambut di sini, tapi saya sudah serahkan tugas ke Pak Raditya buat jemput di Bandara Rahadi Oesman.”
Sheana menghela napas panjang. Formalitas, perusahaan Jakarta, Chairman—semua hal yang ia hindari mati-matian. Ia datang ke Ketapang justru untuk melarikan diri dari jenis kehidupan seperti itu.
Bu Risa menambahkan, “Dan tugasmu bukan cuma mendampingi. Kamu juga yang harus mengurus semua logistik dan akomodasi beliau selama di sini.”
“Akomodasi?”
“Ya. Walaupun proyeknya di pedalaman, tim beliau akan menginap di kota.”
Sheana mengurut pelipis. Sepertinya dia harus bekerja ekstra keras dalam beberapa waktu ke depan. Tapi bagaimanapun, ia tak punya pilihan lain.
“Baik, Bu. Tapi… saya harus tahu detail tugasnya dulu.”
Bu Risa membalik halaman.
“Kamu yang akan handle transport, visit ke desa-desa, koordinasi jadwal, dan laporan harian. CEO itu akan menginap di Aston Ketapang, kamar suite. Kamu harus pastikan semua kebutuhan beliau terpenuhi selama kunjungan.”
Sheana mengangguk meski dalam dirinya ada rasa aneh—tugas ini berat, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa dingin.
“Kapan beliau tiba, Bu?”
“Dalam waktu dekat. Bisa besok, bisa lusa. Chairman ingin fleksibel.”
Sheana mengusap kening. “Baik. Kalau begitu saya persiapkan semua.”
“Bagus.” Bu Risa menutup map. “Saya tahu kamu bisa. Kamu harus kerja secara profesional dan kalau bisa selalu standby. Ingat, Sheana, ini adalah peluang besar untuk yayasan kita. Jangan sampai ada kesalahan.”
Sheana tersenyum, meski tipis.
Sebelum berdiri untuk keluar, Bu Risa menambahkan kalimat yang tak terlalu penting—tapi masuk terlalu dalam.
“Oh iya, satu hal. Chairman juga berpesan…”
Ia berhenti, tersenyum kecil.
“…CEO mereka orangnya pendiam. Profesional. Tapi kalau nanti dia keliatan… kayak punya banyak pikiran, jangan kaget.”
Sheana mengangguk pelan.
Tidak merasa curiga sedikit pun.
Baginya ini hanya tugas besar. Kunjungan korporasi seperti biasa, hanya lebih privat.
Dan tanpa ia sadari—di tempat lain, di Jakarta—Ellan sedang bersiap membereskan koper untuk perjalanan yang akan mengubah hidup mereka lagi.
Bu Risa keluar dari ruangan, pintu menutup perlahan.
Sementara para staf yang ada di ruangan itu berbisik pada Sheana, tak mampu menahan rasa penasaran.
“Chairman-nya nggak mau sebut satu pun identitas CEO sampai hari H?”
Sheana hanya mengangkat bahu.
Tak ada yang tahu alasannya.