Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #88

Reunion

Pak Aditya cuma melihat mereka berdua, clueless total. Nyengir kering.

“Eh, iya. Betul. Bu Sheana ini koordinator lapang kita. Sesuai perintah Chairman, beliau yang akan mendampingi Bapak selama di sini.”

Ellan menoleh ke arah Pak Aditya. Alisnya terangkat. “Perintah Chairman?”

“Betul Pak. Beliau sendiri yang memilih Bu Sheana dari beberapa profil staf senior yang kami ajukan.”

Ellan menelan ludah, tapi kemudian mengangguk tipis. Tatapannya tidak beranjak dari wajah Sheana.

Kalau dulu tatapan itu hangat, nakal, dan obsesi manis…

Sekarang tatapan itu dingin. Tenang. Terkendali.

Tapi ada sesuatu di baliknya.

Sesuatu yang retak.

Sesuatu yang menahan diri keras sekali.

Dan Sheana…

Sheana merasakan setiap inci perubahan itu.

Perubahan yang ia pikir sudah takkan pernah ia saksikan lagi.

Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Dan itu pun masih canggung.

“Senang akhirnya bisa bertemu, Pak Ellan.”

Tangannya sedikit bergetar.

Ellan melihat tangannya selama beberapa detik—seolah ia menimbang apakah ia sanggup menyentuhnya tanpa menginginkan lebih.

Dengan gerakan yang sangat lambat, dan tatapan mata yang tidak pernah lepas dari wajah Sheana, akhirnya ia menjabat.

Cuma sebentar.

Formal, cepat, dan sangat canggung.

Tapi aliran listriknya cukup membuat Sheana menahan napas.

“Baik,” kata Ellan singkat.

Baik.

Seolah itu cukup untuk menyembunyikan semua yang tidak pernah selesai di antara mereka.

Pak Aditya mulai menjelaskan rundown kunjungan, tapi Ellan tidak mendengar. Tubuhnya tetap kaku seperti patung, tatapannya membakar. Matanya kembali jatuh ke rambut pendek Sheana.

Dia makin muda…

Sheana di sisi lain menatap kerah kemeja Ellan, berusaha tidak melihat wajahnya.

Dia makin dewasa…

Mereka berdiri hanya dua langkah dari satu sama lain, tapi jaraknya terasa seperti ribuan kilometer.

Ada batasan yang tak terlihat—tembok takdir—yang berdiri kokoh di antara mereka. Ellan berjuang keras melawan naluri untuk melangkah maju, memeluk tubuh itu, dan menghirup aroma yang sudah 3 tahun ia rindukan.

Dan di antara semua batasan profesional yang sekarang memisahkan mereka…

Ada satu hal yang sama-sama mereka rasakan...

Mereka tidak siap untuk ini.

Sama sekali.

**

Sheana berdiri di depan pintu ruang briefing, berkas-berkas didekap di dada. Wajahnya tetap profesional, tapi ada gurat sedih yang berusaha ia sembunyikan.

Ellan menangkap itu—dan seharusnya ia mengabaikan, tapi tidak.

Mustahil.

“Silakan masuk, Pak Ellan.” Sheana berusaha bersikap normal. “Kalau Pak Ellan sudah siap, kita bisa mulai agenda pembuka. Atau mau minum dulu—”

Ellan menahan napas, lalu berkata, ​“Tunggu.”

Suara Ellan dingin dan tegas, membekukan Sheana di tempat. Ia merogoh saku jas abu-abu gelapnya dan mengeluarkan ponsel.

​“Aku mau nelfon dulu ke Jakarta. Ini penting,” kata Ellan, matanya tajam menatap Sheana. “Kamu duluan aja,” tegasnya.

Lihat selengkapnya