Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #89

Call Me Ellan

Alvino menutup ponsel dan meletakkannya di meja.

Di depannya, seorang pria duduk dengan tenang.

Dirga.

Aroma kopi hitam menguap pelan, menyelip di antara mereka.

Dirga tersenyum tipis, tangannya memegang cangkir yang sama. “Dia senang?”

“Sangat senang. Anak itu nggak pernah tertawa kayak gitu sejak tiga tahun lalu,” jawab Alvino santai. “Terima kasih, Dirga. Aku tahu ini sulit bagimu.”

“Saya yang seharusnya berterima kasih, Pak Alvino,” ujar Dirga. “Kalau bukan karena bantuan Bapak, mungkin saya nggak akan pernah menemukan Sheana. Dia layak bahagia. Kalau dia bersama Ellan… saya ikut senang.”

Alvino tersenyum kecil.

Tidak congkak.

Tidak dingin.

Senyum lelaki yang sudah terlalu lama memendam perasaan sebagai ayah.

Dirga menambahkan, “Sekarang, kebahagiaan Sheana adalah kebahagiaan saya juga. Saya hanya ingin memastikan dia sembuh dari lukanya.”

​Alvino mengangguk. “You’re a good man, Dirga. Kamu merestui, aku yang mengatur. Sekarang, tinggal menunggu mereka yang bekerja.”

Dua pria itu minum kopi mereka.

Tenang.

Tanpa kata-kata berlebihan.

Karena mereka tahu—

Keputusan terbesar sudah dibuat.

Dan perjalanan Ellan–Sheana baru saja dimulai kembali.

***

Ruang briefing terasa dingin meski AC cuma 24 derajat. Sheana berdiri tegak di depan meja, berkas-berkas tersusun rapi. Suaranya profesional, matanya rapi—tapi Ellan bisa melihat retakan kecil di baliknya.

Dan itu cukup untuk membuat napasnya berat.

Sheana membuka meeting dengan sopan.

“Ini agenda kunjungan Pak Ellan selama tiga hari ke depan. Termasuk pengecekan fasilitas di Aston Ketapang—”

“Yang VIP Suite?” Ellan memotong.

Sheana mengangguk pelan. “Iya. Sudah saya siapkan laporannya—“

“Kamu akan ikut aku buat cek. Tonight.”

Sheana sontak mengangkat kepala, matanya melebar karena terkejut. “Ma—malam ini, Pak?”

“Ya,” jawab Ellan santai. “I need you to be there with me. I trust your judgment.”

Sheana menarik napas tajam.

“Biasanya pengecekan kamar dilakukan oleh staf hotel, bukan—”

“Tapi aku nggak minta staf hotel.”

Ellan menatapnya.

“Aku minta kamu.”

Hening.

Tegang.

Ellan menatapnya lama. “Aku mau pastikan semua nyaman untuk… CEO.”

Nada itu terlalu “aku”, bukan “CEO”.

Sheana meremas jemarinya sendiri. “…Baik, Pak. Kalau itu keperluannya.”

Ellan tersenyum kecil, hampir tidak terlihat.

Good. You’re coming with me.”

Sheana hendak lanjut ke lembar berikutnya, tapi Ellan mengangkat tangan.

Stop. Ada satu hal lagi.”

Sheana kembali fokus, tubuhnya kaku. “Iya, Pak?”

“Peran kamu sebagai personal liaison…

Ellan mengetuk meja pelan dengan jarinya.

Sheana menegakkan punggung. “Ya, saya sudah membaca outline—”

“Kita revisi.”

Ellan menyentuh layar tablet, membuka note kosong.

“Kamu akan jadi my main point of contact. No delegation. No sharing task.”

Sheana mengerutkan alis.

“Maaf, tapi biasanya tugas liaison dibagi supaya nggak terlalu berat.”

Ellan mengangkat wajah.

I want your focus on me, Sheana. Jangan pecah konsentrasi ke divisi lain.”

Lihat selengkapnya