Hidup begitu mudah untuk sebagian orang, dan begitu sulit untuk sebagian lainnya. Saat ada orang-orang bodoh yang bisa diterima di universitas-universitas ternama dengan sogokan orang tua mereka, sangat disayangkan justru orang sepintar Anggi lah yang tidak memiliki kesempatan mengejar mimpinya. Aku sudah berbicara dengan Anggi dan menemaninya mencari semua opsi yang ada, namun, ini bukan hanya tentang orang tuanya yang tidak mampu membiayainya kuliah, tapi masalahnya untuk kehidupan sehari-hari pun keluarganya sangat kesulitan. Anggi tidak ingin menambah beban ayahnya lagi. Anggi pun mantap memilih untuk tidak lanjut kuliah dan bekerja.
“Kerja apa?"
“Tante gue yang orang kaya punya salon. Katanya, gue boleh ikut training sulam alis sama nail art gratis, terus nanti kalau udah bisa, gue bakal kerja di dia,” jawab Anggi, “baik banget ya dia.”
Hatiku sesak mendengarnya. Andai aku bisa, aku pasti membantu meminjamkan uang agar dia kuliah saja daripada harus bekerja. Masalahnya, kuliahku saja akan dibiayai oleh Prischilla, tidak mungkin aku meminta malaikat berhati setan itu untuk membantu Anggi juga.
Mungkin ini yang membuat kami bisa berteman, kami terlahir di dunia yang tidak adil ini untuk memandangi privilege yang orang-orang lain dapatkan, sementara kami harus bekerja keras dan berjuang sendiri untuk.
Aku menghela nafas panjang, “Yaudah, gue juga gak kuliah.”
“Hah?! Jangan lah!”
“Males gue kuliah kalo lo gak kuliah…” Aku menjatuhkan kepalaku ke meja kantin.
“Jangan.” Tegas Anggi, menarik pundakku untuk kembali duduk, “udah, udah. Emang jalan hidup gue kayak gini aja. Kalo lo mau bantu, nanti lo jadi pelanggan pertama gue aja, gimana?”
“Oke!”
Sabtu berikutnya, aku pergi ke rumah Anggi untuk menepati janjiku. Begitu melangkah masuk, aku langsung melihat bagaimana ruang depan rumahnya telah bertransformasi menjadi tempat praktik kecil-kecilan. Sebuah ranjang pasien—mirip yang biasa ada di rumah sakit atau klinik—berdiri di sudut ruangan. Anggi bilang dia mendapatkannya dari toko barang bekas online. Rencananya, ranjang itu akan ia lapisi dengan kain bercorak bunga begitu ada uang untuk membeli, tapi sementara, biarlah apa adanya dulu.
Aku menaiki ranjang itu dengan sedikit ragu, lalu berbaring di bawah sorot lampu belajar yang kini diarahkan ke wajahku. Di belakangku, Anggi sibuk mempersiapkan alat-alatnya. Aku bisa mendengar suara dentingan kecil saat ia mengecek semuanya satu per satu.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dengan nada yang mencoba terdengar yakin, “Siap?”
—
“HAHAHAHAHAHAHA!”
“Bisa diem gak?!” bentakku, buru-buru memalingkan wajah dari Prischilla yang tertawa puas melihat rupa baruku.
“Maaa! Lihat nih si Cantika, Ma!” serunya masih dengan nada penuh kemenangan.
Tak butuh waktu lama, mama muncul dari dapur. Begitu melihatku, respons pertamanya adalah, “Astagfirullahaladzim, adek…” dengan nada yang sulit diartikan—antara syok, pasrah, atau campuran keduanya. Ia segera mendekat, kedua tangannya menyapu rambutku agar dapat melihat wajahku lebih jelas. “Kenapa alis kamu??”
“Sulam alis, Ma. Disulamin sama Anggi…” jawabku lesu.
Tawa Prischilla semakin pecah. “Oh, kerjaannya si Anggi! Keren, keren!”
Mama menatapku penuh tanda tanya. “Emang kamu gak bakal dimarahin guru? Senin besok ke sekolah alisnya kayak gini?”
“Kan udah tinggal ujian akhir, Ma. Jadi gak apa-apa.”
Mama memiringkan wajahku ke kanan dan kiri, mengamati hasil sulam alisku dengan ekspresi prihatin. “Tapi ini parah banget loh, Dek… Aduh, ada-ada aja kamu ini…”
Aku mundur selangkah, melepaskan tangan mama dari wajahku. “Yaudahlah, Ma! Emang aku udah jelek dari sananya ini!” Tanpa menunggu tanggapan, aku berbalik dan berlari ke kamar.
Tawa Prischilla mendadak terhenti.
Aku duduk di depan cermin di kamarku, ya, ini sangat buruk. Anggi bilang, sulam alis memang akan terlihat hitam dan tegas awalnya, lalu nanti mengelupas dan terlihat bagus. Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli.
Keesokan harinya, aku melangkah ke sekolah dengan perasaan yang sudah berat sejak awal. Benar saja, semua orang yang aku lewati menatapku, dan bisikan-bisikan kecil mengiringi langkahku dari gerbang sampai kelas.
“Eh, kenapa tuh alis dia?”
“Dia pake alis ke sekolah?”
“Bukan! Kayaknya itu sulam alis deh.”
“Dia sulam alis ya?”
Aku menarik napas panjang, menundukkan kepala, pura-pura sibuk melihat sepatuku melangkah, meskipun aku tahu itu percuma. Suara bisikan mereka seketika lebih nyaring dari pikiranku sendiri. Aku tetap melangkah, berusaha fokus, karena hari ini hari ujian. Itu yang paling penting.
Begitu masuk kelas, baru saja menarik kursi, suara seorang anak laki-laki memecah suasana, “Jani! Kenapa tuh alis lu?”
“Oh my God! Jani sulam alis, ya?” Ucap seorang anak perempuan. Keras. Sengaja.
Semua orang menoleh, beberapa mulai mengerubungiku.
“Eh, Jani! Pengen cantik banget lu sekarang?”
Tawa langsung pecah di sekelilingnya. Beberapa teman cewek saling pandang sambil menutup mulut, tapi matanya penuh ejekan.
"Gila, segitunya pengen cantik sampe sulam alis!"
"Maksa banget sih?”
Salah satu dari mereka mengeluarkan handphone dan mengambil fotoku, lalu menunjukkan hasilnya ke yang lain dan mengundang tawa terbahak-bahak.
Dadaku terasa sesak. Aku pikir ejekan soal wajahku yang jelek adalah yang paling menyakitkan, tapi ternyata lebih menyakitkan lagi saat mereka mengatakan bahwa aku ingin cantik. Meskipun gemetar, aku cepat-cepat menarik sudut bibir, ikut tertawa kecil. Pura-pura santai, padahal ada yang terasa pecah di dadaku. "Hehehe, iya dong, sulam alis gue," jawabku ringan, seolah itu tak masalah.
Tiba-tiba, dari arah meja depan, Dion berdiri. Suaranya datar, tapi tegas. “Hapus fotonya.”
Semua orang terdiam sejenak. Suasana yang tadi riuh langsung meredup.
“Apa?” anak cowok yang pegang handphone tadi mencoba ketawa lagi, walaupun jelas gugup.
Dion melangkah pelan ke arahnya. “Gue bilang, hapus. Atau gue laporin ke BK soal ini.”
Anak-anak mulai saling tatap, tapi Dion tidak melepas tatapannya dari anak cowok itu sebelum dia menekan layar dan menghapus fotonya.