Pretty Thing

clearesta nathania
Chapter #3

Rasa Benci

CARA:

Aku tidak suka keramaian. Setiap jam istirahat sekolah aku pasti menyendiri di tempat parkir, menikmati bekalku di dalam mobil sambil menyalakan musik dari band-band indie favoritku, dan terkadang sambil membaca novel “Ghost Busters” atau “Malory Towers” yang sudah kubaca entah berapa kali. Rasanya benar-benar tentram dan makanan yang kumakan bertambah lezat dua kali lipat.

Biasanya tidak ada yang mengganggu atau menertawaiku di saat ini. Tapi hari ini saat aku sedang makan bekal di dalam mobil, seseorang mengetuk kaca mobilku. Aku sudah bersiap untuk melabrak orang itu karena sudah mengganggu waktu tenangku. Tapi ketika aku melihat siapa orangnya, aku mengurungkan niatku. Aku malah membuka kaca mobil.

Ley memandangiku sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Apa?" tanyaku.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Seharusnya aku yang bertanya. Aku selalu di sini saat jam istirahat."

"Kau selalu makan siang di dalam mobil?"

Aku mengangguk.

Ley kemudian mengisyaratkan agar aku membuka kunci mobil. Aku pun melakukannya dan dalam sekejap, Ley masuk dan duduk di bangku penumpang sebelahku.

"Kalau begitu, aku juga akan memakan bekalku di sini."

Hah?

Ley memamerkan kotak bekalnya padaku. "Sarah bilang makanan di kantin tidak sehat jadi dia membawakanku bekal."

"Oke, tapi kau tidak harus makan di sini. Apalagi bersamaku."

"Lalu aku harus makan di mana?"

Aku hanya memberi Ley tatapan tidak percaya. Maksudku, aku tahu Ley bukan orang Indonesia dan pasti banyak perbedaan antara Indonesia dan Polandia. Tapi aku yakin seratus persen di setiap sekolah pasti ada kantin. Semua orang makan di kantin. Semua orang kecuali aku.

Sebelum aku menjawab pertanyaan bodohnya, Ley lebih dulu menambahkan "Kantin selalu ramai dan teman-teman Candy mendominasi. Anak-anak tim futsal juga memakan banyak tempat. Jika aku makan di kelas, nanti kelasku dipenuhi bau makanan dan setiap saat aku akan merasa lapar."

Aku mengangguk-angguk setuju. Setidaknya kali ini argumen pendukungnya masuk akal.

"Jadi?"

"Jadi apa?" tanyaku bingung.

"Jadi apakah aku boleh makan bersamamu di sini setiap hari?"

"Boleh saja, asal kau tidak takut ditertawakan satu sekolah."

Wajah Ley kemudian menegang. Aku sampai takut melihatnya. Wajah malaikatnya yang biasa selalu dipenuhi senyuman seakan hilang ditelan bumi.

"Aku tidak takut." ujarnya. "Kenapa harus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan?"

Aku mengangkat bahu. "Beberapa orang menjauhiku karena mementingkan gengsi dan popularitas."

"Aku bukan mereka. Aku merasa nyaman bersamamu, ngobrol denganmu. Dan demi Tuhan Cara, aku pernah merasakan hal yang lebih buruk daripada dijauhi dan ditertawakan."

Aku penasaran apa yang dimaksudnya dengan hal buruk, tapi aku tidak ingin mengorek lebih jauh. Kalau Ley ingin bercerita, nanti dia juga akan cerita dengan sendirinya.

"Oke, mulai sekarang ini jadi tempat makan siang kita." Ley tersenyum. Oh senyuman itu sudah kembali tertempel di wajahnya.

Aku hanya mengangguk dan meneruskan makan sementara Ley baru mulai membuka kotak bekalnya.

***

LEY:

Aku selalu menyukai orang-orang yang tidak banyak bicara. Mereka cenderung menyembunyikan banyak hal dan entah apa yang sedang mereka pikirkan. Apakah mereka memikirkan berapa banyak uang yang mereka punya, ataukah mereka memikirkan beban berat yang mereka tanggung. Kita tidak akan pernah tahu. Rasanya aku ingin masuk ke dalam pikiran mereka dan menjelajah setiap ruang pikiran mereka. Aku ingin masuk ke dalam pikiran Cara, menyimpan semua rahasianya, dan menghapuskan semua kekhawatirannya. Meskipun Cara terlihat cuek dan kuat dari luar, tapi aku tahu dia rapuh dan membutuhkan teman. Semakin aku mengenal Cara, aku semakin bisa melihat dengan jelas sifat sejatinya. Dan rasanya, aku ingin selalu berada di dekat Cara, mengajaknya ngobrol, menghiburnya, apapun akan kulakukan agar Cara kembali ceria. Aku ingin menjadi temannya.

Beberapa hari ini kami jadi cukup dekat. Sejak hari dimana aku memergokinya makan siang di dalam mobil, setiap hari kami melakukan rutinitas yang sama dan ngobrol panjang lebar. Aku yang banyak bicara, dan Cara lebih banyak mendengarkan. Sesekali Cara juga bercerita tentang kegemarannya menonton film zombie.

"Aku serius, koleksi DVD zombie-ku kira-kira ada dua rak."

Aku menggeleng tidak percaya. "Ternyata ada yang lebih gila dariku."

"Kapan-kapan kau harus melihat koleksiku, aku berani taruhan mereka adalah koleksi terseram dan terbaik."

Aku tergelak. "Bagaimana kalau besok lusa?"

"Deal. Kamarku. Jam 7 malam."

"Deal."

***

Lusanya, aku sudah bersiap ke rumah Cara untuk "Zombie Movie Marathon"—itulah  judul yang diberikan Cara untuk hari ini. Sebelum berangkat, Sarah mengajakku makan malam terlebih dahulu. Aku pun tidak menolak. Yang aku tidak tahu adalah, kami ternyata akan pergi makan malam di sebuah restoran China. Sepanjang perjalanan, aku tidak berhenti melihat jam di ponselku. Tiga puluh menit lagi jam tujuh. Mungkin sebaiknya aku memberitahu Cara jika aku akan datang terlambat. Saat hendak mengetik pesan, aku baru ingat betapa bodohnya aku. Aku tidak punya nomor Cara!

"Ada apa denganmu?" Sarah menyadari kegelisahanku.

"Ah.. Aku ada janji dengan Cara hari ini, dan sepertinya aku terlambat. Kau punya nomor Cara?"

Sarah menggeleng. "Tapi Ian punya, nanti saat sampai di resto kau tanya saja padanya."

Aku tercengang mendengar jawaban Sarah. Jadi ini adalah makan-makan keluarga? Demi Tuhan, lebih baik aku menonton film zombie bersama Cara sekarang daripada bertemu dengan Ian dan Randy. Kenapa pula Sarah tidak memberitahuku di awal.

Saat kami sampai di restoran, aku langsung melihat Ian. Pria itu sampai terlebih dulu dan duduk di meja untuk dua orang. Saat mata kami bertemu, wajahnya langsung berkerut. Kurasa dia juga tidak tahu bahwa aku ikut.

"Ian, kita pindah ke meja yang lebih besar saja, aku mengajak Ley dan Randy." ujar Sarah.

Lihat selengkapnya