CARA:
Hari ini akhirnya aku dan Ley akan melakukan "Zombie Movie Marathon" kami yang tertunda minggu lalu. Kali ini Ley benar-benar datang, bahkan lebih cepat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan sampai aku kebingungan menyiapkan snack dan minuman. Candy dan Alice hanya bisa geleng-geleng kepala melihatku mondar-mandir di dapur.
"Hey, maaf lama menunggu." ujarku saat masuk kamar. Saat aku datang, Ley sedang melihat-lihat koleksi DVD zombie-ku.
"Hey." sapanya balik sambil tertawa melihatku membawa tumpukan snack yang mulai berjatuhan di lantai. "Kau perlu bantuan?"
"Tentu saja, terima kasih." dan Ley pun membantuku membawa beberapa snack yang sudah tidak mampu kutampung di tanganku.
Kami memposisikan diri kami senyaman mungkin. Aku duduk di atas ranjang dan Ley di bawah beralaskan karpet dan bantal duduk yang tentu saja, bergambar zombie dalam versi kartun. Aku pun segera mengambil remote dan menekan tombol play. "Kau siap untuk film pertama?" tantangku.
Ley mengangguk mantap. "Sangat siap."
Dan selama enam jam kemudian, kami terlibat dalam obrolan seru mengenai zombie dan bahkan sesekali melenceng ke alien atau hantu.
Tepat jam satu pagi, total kami sudah menyelesaikan tiga film dan mulai mengantuk. Kami terlibat obrolan dan perdebatan yang lebih seru dan layar TV hanya menyala untuk sekedar formalitas. Kami bahkan tidak menontonnya. Atau lebih tepatnya, kami menonton dengan pandangan kosong.
"Kau ingat Candy pernah bertanya kenapa aku selalu berpakaian tebal, panjang, dan tertutup?" tanya Ley tiba-tiba saat kami mulai kehabisan topik.
"Ya, tapi kurasa aku sudah tahu alasannya."
"Oh ya? Apa?"
"Aku membaca di internet bahwa musim dingin di Polandia sangat mengerikan, jadi kusimpulkan kau masih dalam proses beradaptasi dengan cuaca di sini."
Ley mendengus kecil. "Kau lucu sekali."
"Bukan itu alasannya?" aku menatapnya bingung.
"Bukan."
"Lalu?"
Dalam sekejap, Ley tiba-tiba berdiri di hadapanku. Aku harus mendongak untuk melihatnya karena dalam posisi duduk, butuh perjuangan untuk melihat Ley dengan tubuh jakungnya.
Pertama-tama, Ley membuka jaket yang dikenakannya, lalu detik berikutnya dia mulai membuka bajunya. Sebelum sempat pria itu melepas bajunya, aku mencegah. "Eh Ley, aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan, tapi jika kau ingin melakukan hal striptis, aku akan teriak sekarang."
Ley menggeleng. "Aku akan menunjukkan sesuatu."
Aku pun diam saja dan melihat Ley yang sekarang memposisikan dirinya membelakangiku melepas bajunya, lalu celana panjangnya. Satu-satunya yang dikenakannya sekarang hanyalah boxer dan aku otomatis menutup mata, sudah siap untuk berteriak ketika dia membalikkan badan menghadapku dan menyuruhku untuk membuka mata.
Bukannya teriak, aku malah tercengang, terkejut, melongo, atau apapun itu. Yang pasti mulutku tidak bisa tertutup rapat menyaksikan pemandangan di depanku.
Astaga..
***
"Ley.." aku menutup mulutku dengan kedua tangan dan tidak tahu harus berkata apa.
"Sekarang kau tahu kenapa aku tidak pernah memakai pakaian pendek."
"Wow, aku hanya.. tidak menyangka." aku terus mengamati tubuh Ley. Meskipun lampu kamarku gelap, namun penerangan dari cahaya layar TV sudah cukup bagiku untuk bisa melihat ukiran tattoo di setiap tubuh Ley. Ya, Ley memiliki tattoo hampir di seluruh bagian tubuhnya. Badannya, lengannya, punggungnya, dan kakinya, semua berukirkan tinta hitam. Mirisnya, ada bekas-bekas luka di beberapa tempat seperti pinggang dan perutnya. Aku bertanya-tanya dari mana asal luka itu. Dari perkelahian kah? Atau.. Randy?
Ley tersenyum sinis. "Randy tidak tahu. Jika Randy tahu aku ber-tattoo, kemungkinan besar aku akan ditelantarkan di Polandia."
"Kenapa kau melakukannya? Maksudku, tattoo bukan hal yang buruk. Hanya saja.."
"Aku mengerti maksudmu." potong Ley. "Aku melakukannya setiap kali Randy memukulku. Aku hanya suka dengan rasa sakit saat proses mereka mengukir gambar di tubuhku. Itu membantuku menenangkan diri. Jangan tanya kenapa, aku tahu ini aneh. Tapi ini lebih baik daripada menyakiti diriku sendiri dengan silet."
"Apa kau pernah..?"
"Cutting? Ya. Aku pernah melakukannya dan aku hampir tidak selamat karena hampir menggores urat nadiku. Saat Randy tahu, dia bukannya iba tapi malah memukuliku. Dia bilang aku lemah dan cengeng. Tapi hey, siapa yang membuatku seperti ini? Dia tidak membiarkanku bertemu ibu kandungku sendiri, setiap hari aku harus mendengar ocehannya tentang betapa buruknya sifat ibuku atau bagaimana sifatku sama dengan ibuku. Saat dia mabuk, dia selalu memukulku. Tidak cukup di rumah aku merasa penat, di sekolah aku juga dibuli." Ley berhenti sejenak. Nafasnya mulai tidak beraturan. Aku bisa merasakan betapa marahnya dia, betapa sakit hatinya dia saat menceritakan semua ini. "Saat SMP aku dibuli lebih parah darimu. Aku benar-benar tidak punya siapa-siapa saat di Polandia."
"Kalau boleh tahu, ada apa dengan ibumu?"
"Dia kabur dengan pria lain. Tapi itu semua karena Randy. Karena Randy tidak bisa memperlakukannya selayaknya seorang istri. Kalau aku jadi ibuku, aku juga pasti melakukan hal yang sama. Aku menganggap Randy lah yang meninggalkannya, bukan sebaliknya."
Aku diam saja.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi sungguh, ibuku bukan orang seperti itu. Dia sudah terlanjur sakit hati pada Randy. Meskipun begitu dia masih peduli padaku dan berkali-kali berusaha menemuiku. Bisa ditebak, Randy tidak pernah mengizinkan. Bahkan dia menyekolahkanku di sekolah asrama yang rasanya seperti penjara."
Ley tidak berbicara apa-apa lagi setelah itu dan ada jeda cukup panjang sebelum dia menambahkan, "Cara, aku tidak tahu kenapa aku menceritakan semua ini padamu. Tapi kuharap kau tidak memberi tahu siapa-siapa."
"Tentu saja, kau tidak perlu khawatir."
Ley tersenyum dan mulai memakai kembali semua pakaiannya.
"Oh Ley,"
"Ya?"
"Selama di sini, jika Randy berani melakukan sesuatu yang buruk padamu, kau bisa datang ke kamarku kapan saja dan kita akan menonton DVD dua puluh empat jam. Kalau kau bosan dengan zombie, aku punya film lain."
Senyum Ley berkembang lebih besar. "Terima kasih."
***
CANDY:
Jackpot! Aku mendapati Ley keluar dari kamar Cara tepat jam tiga pagi dan aku melihat sendiri Cara mengantar Ley keluar dari rumah sambil sembunyi-sembunyi. Mencurigakan sekali! Lagipula, apa saja yang mereka lakukan hingga subuh seperti ini? Laki-laki dan perempuan, berdua saja di kamar hingga berjam-jam. Pasti ada sesuatu! Aku harus memberitahu Ian!
Keesokan paginya saat sedang sarapan, Cara terlambat datang ke meja makan dan saat dia datang, tampangnya kacau. Aku jadi semakin meyakini perasaanku bahwa kemarin malam memang terjadi sesuatu di antara Cara dan Ley.
"Ehm, kemarin jam berapa kalian selesai nonton? Aku sampai ketiduran menunggu Ley pulang, padahal aku ingin ngobrol sebentar dengannya." aku mencoba memancing Cara.