Pretty Thing

clearesta nathania
Chapter #5

Maaf

LEY:

Cara..

Di mana gadis itu?

Cara, Cara..

Aku harus menemukan Cara.

Dan lalu aku melihat Cara keluar dari kelas menuju ke lokernya. Dengan semangat, aku berlari menyusul dan mencegat gadis itu tepat di depannya.

"Oh wow, kenapa kau heboh sekali?" Cara menatapku dengan bingung selagi aku mengatur nafasku yang masih terengah-engah untuk mulai berbicara.

"Coba tebak."

Cara hanya menggelengkan kepalanya. "Aku bukan peramal. Ayolah, kau membuatku penasaran."

"Ujian tengah semesterku lulus dengan nilai rata-rata delapan puluh."

Cara refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan dan perlahan senyum mengembang di wajahnya. "Ley! Itu bagus sekali! Aku kira kau tidak akan lulus!"

"Hmm?"

"Yah, karena terakhir kali saat aku mengajarimu bahasa Indonesia, kau malah ketiduran."

Aku tertawa. "Ini semua berkatmu! Sebagai gantinya, aku akan mengajakmu kencan hari Sabtu ini."

"Kencan?"

"Sudah berapa lama sejak terakhir kali kau pergi jalan-jalan? Oh benar, rasanya tidak pernah karena aku selalu melihat mobilmu di rumah, kecuali saat kau pergi ke sekolah. Kau butuh bersenang-senang! Aku yang traktir!"

Cara hanya berdecak, tapi lalu dia mengangguk. "Sabtu ini jam dua belas siang. Dan bukan kencan namanya kalau aku yang harus menjemputmu. Sampai ketemu Sabtu, Ley." setelah itu dia melambaikan tangan padaku dan tergesa-gesa berlari menuju kelas berikutnya.

Sepeninggal Cara, aku masih tidak bisa menghilangkan ekspresi senang di wajahku. Alhasil, aku berjalan menelusuri koridor sambil cengar-cengir seperti orang bodoh. Padahal aku sudah terlambat lima belas menit untuk kelas geografi, tapi aku tidak peduli.

"Baru kali ini aku melihat ada orang bahagia terlambat masuk kelas." ujar Theo, teman sekelasku. Kami bertemu di depan ruang kelas.

"Yah, ada hal bagus yang terjadi." Cara setuju untuk berkencan denganku. "Ngomong-ngomong kenapa kau tidak masuk kelas?"

"Kurasa bu Hari sedang datang bulan, semua murid yang terlambat tidak boleh masuk kelas. Termasuk kau."

Oh.. Sial.. Tapi tidak masalah. Aku bisa menghabiskan waktu dengan merancang kegiatan apa saja yang akan kulakukan dengan Cara hari Sabtu nanti. Aku akan mentraktirnya makan, lalu nonton film, lalu..

"Oi!" seru Theo membuyarkan lamunanku.

"Ya?"

"Apa kau sadar kau dari tadi melamun dan senyum-senyum sendiri? Ada hal bagus apa?"

"Sabtu ini aku ada janji kencan."

"Wow, dan teman kencanmu adalah..?"

"Cara."

Theo menaikkan sebelah alisnya. "Cara Eudia, anak kelas dua belas?"

Aku mengangguk.

Seakan masih tidak yakin, Theo menambahkan "Kakak kembar Candy Eudia?"

"Ya, kurasa tidak ada lagi anak kelas dua belas yang bernama Cara, dan kembar."

"Wow.. Wow.."

"Kau sudah berkali-kali mengatakan wow."

"Yah.. Itu karena.. Entahlah.."

"Tidak usah sungkan-sungkan. Karena Cara terkenal aneh? Karena dia tidak termasuk dalam gerombolan anak populer di sekolah?"

"Begitulah." Theo mengangkat bahu.

"Percayalah, jika kau mengenal Cara, dia sama sekali tidak aneh. Dia unik. Kurasa dia gadis termanis yang pernah kutemui."

Theo hanya menatapku seolah-olah aku sudah tidak waras.

***

CARA:

Aku turut senang melihat Ley senang. Bukannya sombong, tapi keberhasilannya dalam ujian sebagian memang karena bantuanku. Tapi sungguh, sebenarnya sebagian lagi gara-gara usaha Ley sendiri. Jika sedang rajin, dia bisa betah belajar semalaman. Aku tahu itu karena pernah sekali dia meneleponku jam satu pagi hanya karena ingin menanyakan rumus matematika. Untung aku selalu tidur di atas jam dua pagi sehingga aku bisa memandu Ley belajar dari telepon.

Dan apa katanya tadi? Kencan? Aku mendengus. Lucu sekali. Aku tidak pernah "berkencan". Pacar saja tidak pernah punya. Tapi aku tidak sabar menunggu hari Sabtu nanti. Bukan karena aku ingin berkencan dengan Ley, tapi benar apa katanya tadi. Aku tidak pernah keluar rumah selain untuk ke sekolah dan lari pagi atau malam. Sesekali aku butuh udara segar dan sedikit hiburan bersama teman. Dan bicara soal teman, aku mendengus untuk yang kedua kalinya. Kurasa Ley adalah temanku satu-satunya sekarang.

***

00:00

Ini adalah lari pagi ter-pagi yang pernah kulakukan. Lebih tepatnya, lari subuh. Badanku rasanya lelah seharian duduk di sekolah dan otakku penat karena pulang-pulang harus mengerjakan PR esai sejarah yang banyaknya lima halaman bolak-balik.

Setelah melakukan sedikit stretching, aku mulai berlari pelan mengitari kompleks perumahan. Setelah dua putaran, seperti biasa aku merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat di bangku taman terdekat. Saat itulah aku melihat sosok pria dalam balutan hoodie dan celana pendek sedang merokok. Aku takut pria itu orang jahat sehingga aku mengurungkan niatku beristirahat dan buru-buru membalikkan badan, siap untuk berlari pulang.

"Kau kabur lagi."

Aku menoleh saat mendengar suara pria itu berseru dari kejauhan.

Apa dia bicara padaku?

Aku menoleh ke sekitarku untuk melihat apakah ada orang lain. Tapi tidak, kompleks perumahanku benar-benar sepi. Hanya ada aku dan pria yang sedang duduk di bangku taman itu.

"Ini aku, Ian." seru suara itu lagi.

Aku pun menghampirinya dan benar, Ian tersenyum padaku dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkanku untuk duduk. Aku pun menurut.

"Pantas aku tidak pernah melihatmu lari pagi lagi, ternyata kau lari saat subuh." ujar Ian masih sambil merokok.

"Ini hanya jika aku sedang penat." jawabku. Sebenarnya aku ingin bertanya apa yang sedang dilakukannya sendirian di sini selarut ini, tapi aku mengurungkan niat. Mungkin dia juga sedang penat? Jika caraku menghilangkan penat adalah dengan berlari, maka Ian dengan merokok.

Ian membuang rokoknya dan menginjaknya. "Rasanya aneh."

Aku hanya menoleh ke arahnya, tapi Ian tetap memandang lurus ke depan. Dia belum menatapku sama sekali kecuali saat aku menghampirinya tadi.

"Rasanya aneh kembali ngobrol denganmu seperti ini." lanjutnya.

Ya, aneh sekali. Aku jadi menyesali keputusanku menghampirinya. Kalau aku teruskan berlari, aku tidak harus berada di situasi canggung bersama Ian sekarang.

"Aku minta maaf." Ian akhirnya menatapku.

"Untuk apa?"

"Karena sudah menjauhimu, mengataimu aneh, dan karena.. demi Tuhan, aku minta maaf atas semua perilaku burukku terhadapmu."

Aku tersenyum sinis. "Bukankah sudah sedikit terlambat untuk itu?"

Ian diam saja.

"Aku tidak dendam padamu. Mau berteman denganku atau tidak kan pilihanmu. Aku hanya kecewa karena kau berubah menjadi orang seperti Candy. Orang yang mementingkan reputasi dan gengsi hingga meninggalkan teman sendiri. Atau jangan-jangan kau benci padaku?"

"Apa? Tentu saja tidak! Waktu itu aku terlalu muda dan.. egois. Hey dengar, kau ingat permainan yang selalu kita mainkan saat kecil?"

Aku mengangguk.

"Kau mau bermain sekarang?"

O-oh. Bukan ide bagus. Tapi aku rindu melakukan hal ini bersamanya. Jadi.. kenapa tidak? Nanti saat bangun aku bisa berpura-pura kejadian pagi hari ini adalah mimpi.

"Siapa yang mulai duluan?" tantangku.

***

IAN:

Saat kecil, aku dan Cara selalu memainkan permainan Truth or Dare, hanya saja kami terlalu pengecut untuk bermain Dare. Oleh karena itu, kami mengganti permainan dengan Truth or Truth. Tidak ada peraturan khusus, kami hanya saling bertanya satu sama lain dan harus menjawab dengan jujur. Permainan yang sangat sederhana, tapi aku suka melakukannya untuk mengorek apa sebenarnya yang ada di pikiran Cara.

Dan permainan ini tentu saja sangat berguna di saat-saat seperti ini. Pertanyaan apapun, akan kujawab dengan jujur agar Cara tidak meragukan permintaan maafku barusan.

"Siapa yang mulai duluan?" tanya Cara.

Aku tidak menyangka gadis itu akan langsung setuju untuk bermain. Aku pun mengisyaratkan agar dia mulai duluan karena dia pasti punya banyak pertanyaan.

"Apa yang membuatmu suka pada Candy?"

Aku hanya menaikkan sebelah alisku. "Hanya ini yang mau kau tanyakan?"

"Kau seharusnya menjawab, bukan bertanya balik."

Lihat selengkapnya