Pretty Thing

clearesta nathania
Chapter #6

Di Antara

CARA:

Meskipun aku bukan tipe orang yang senang dengan romantisme, tapi aku sudah berkali-kali melihat adegan ciuman di film. Bukan dengan sengaja tentunya, hanya saja film-film zaman sekarang seringkali menyisipkan sedikit roman untuk membumbui cerita mereka, yang terkadang malah jadi sama sekali tidak cocok. Bayangkan saja apa esensi romantisme dalam film zombie? Kau seharusnya berjuang melawan zombie bukan malah bermesra-mesraan!

Dan kemarin untuk pertama kalinya aku merasakan seperti apa rasanya ciuman! Tentu saja bukan ciuman hot seperti di film-film. Tapi tetap saja meskipun hanya kecupan, itu kulakukan dengan seorang pria, di bibir pula! Ughh aku bisa merasakan wajahku memanas saat mengingat-ingat kejadian kemarin. Dengan ayahku saja paling-paling cuma di pipi. Bisa-bisanya.. Ley.. menciumku.. di bibir. Aku merasa seperti orang bodoh karena terus-terusan memikirkan hal ini sementara Ley pasti menganggap ciuman itu tidak spesial. Tolonglah, dia pasti sudah berkali-kali melakukannya. Duh!

"Kau tidak salah makan obat kan? Kenapa wajahmu merah begitu? Alergi udangmu kambuh?" Candy menyela pikiranku, ditatapnya wajahku dengan seksama.

Aku hanya menggelengkan kepala. "Kurasa aku demam."

Tidak lama kemudian bel rumahku berbunyi dan aku tidak perlu tahu siapa yang datang karena Candy buru-buru membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Ian.

Dan benar tebakanku.

"Oh ada Ian, sudah sarapan? Ayo makan dulu!" Alice segera menyiapkan satu piring lagi di meja makan.

"Iya, mau pergi dengan Candy." Ian tersenyum dan menyapa orangtuaku, lalu duduk bersama kami di meja makan.

Aku berusaha untuk membuat kontak mata dengan Ian untuk menyapanya tapi sedikitpun dia tidak melihat ke arahku. Apa-apaan?

Saat kami selesai makan, Candy dan Ian langsung pamit. Sekali lagi, Ian tidak melihat ke arahku. Bahkan berpamitan pun tidak. Aku kira kami sudah kembali berteman? Dia sendiri yang bilang begitu kan? Apa aku bermimpi? Tidak. Nilai tes sejarahku yang jelek membuktikan bahwa aku memang kurang tidur karena ngobrol dengan Ian. Tapi kenapa hari ini pria itu berbeda?

Kenapa hari ini Ian benci padaku?

Aku tidak mengerti.

Belum selesai aku kepikiran tentang Ley, sekarang aku jadi kepikiran tentang Ian. Kurasa kepalaku sudah mau meledak.

Dan dengan itu, aku jatuh sakit.

Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan Ian atau Ley.

***

IAN:

Aku tidak mengerti diriku sendiri. Apa yang Cara lakukan sampai aku menghindarinya seperti tadi?

Dia berciuman dengan Ley.

Lantas kenapa itu jadi masalah?

Karena aku benci Ley.

Sekali lagi, kenapa itu jadi masalah? Yang benci Ley adalah aku, kenapa aku harus marah pada Cara? Seharusnya aku marah pada Ley, bukan Cara.

Apa jika aku membenci Ley maka Cara juga harus membenci Ley?

Tidak.

Lantas kenapa.. kenapa rasanya aku gundah sekali?

Cemburu?

Permainan tanya jawabku berhasilkan nihil.

Aku menghitung sisa rokok yang kupunya. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan hampir separuh kotak dalam satu hari, padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri akan mengurangi kecanduan nikotinku.

"Rokokmu habis?" Evan menyodorkan rokok miliknya.

"Tidak, masih banyak."

"Ada masalah apa lagi?"

"Apa aku terlihat punya banyak masalah?"

Evan tertawa terbahak-bahak. "Rasanya setiap kali aku melihatmu kalau tidak marah-marah, ya pasti wajahmu murung. Siapa lagi sekarang? Ley? Randy? Candy? Atau ibumu?"

"Kau selalu sok tahu. Ngomong-ngomong kenapa kau putus dengan Ivy? Bukannya kalian sudah dua tahun berpacaran?"

"Yang sepuluh tahun pacaran saja bisa putus kok." Jawab Evan santai.

Aku mengernyit.

"Aku sadar aku mulai tidak cocok dengannya, kalau sudah tidak cocok buat apa diteruskan."

"Sesederhana itu? Apa kau tidak merasa hampa? Biasanya kau selalu bersama Ivy, sekarang apa-apa sendiri."

"Awalnya hampa karena aku sudah terbiasa dengannya, tapi kebiasaan bisa dirubah kan?"

Kebiasaan bisa dirubah.. kata-kata Evan seakan menyadarkanku dan menjawab semua pertanyaanku.

"Kau sendiri bagaimana dengan Candy?"

"Sebenarnya itu yang sedang kupikirkan. Sepertimu, aku mulai merasa tidak cocok. Dan.. kurasa.. keputusanku sudah bulat untuk juga merubah kebiasaanku."

Evan tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Kita harus merayakan hari bujang kita."

"Aku belum bujang."

"Sama saja, setelah malam ini kau akan jadi bujang bukan?"

Aku tersenyum sinis, menyetujui ucapan Evan barusan.

Setelah itu kami pergi ke bar, menelepon beberapa teman kami untuk datang, memesan terlalu banyak minuman, bernyanyi sampai suara kami serak, dan minum sampai kami rasanya tidak sanggup berjalan.

Aku akan memutuskan Candy..

Lalu minta maaf pada Cara..

Lalu..

Aku dan Cara..

Lalu..

Aku muntah.

***

Tepat jam satu pagi, aku menelepon Cara.

"Halo?" Ujar suara Cara di seberang sana kebingungan.

"Bisakah kau menjemputku?"

"Kau mabuk?"

"Ya. Benar-benar mabuk."

Aku bisa mendengar Cara menghela nafas. Kesalkah dia? Bodoh, tentu saja dia kesal. Siapa yang tidak kesal ditelepon subuh-subuh hanya untuk menjemput orang mabuk. "Lupakan saja, aku.."

"Beritahu aku kau ada dimana, lima menit lagi aku berangkat."

***

CARA:

Suhu tubuhku mencapai 37.9 derajat. Kepalaku rasanya pusing dan mataku berat, tubuhku lemas. Seharian ini aku hanya bisa berbaring di tempat tidur, makan pun hanya sedikit karena tidak selera. Aku heran, setelah minum obat aku merasa ngantuk, tapi tidak bisa tidur. Mungkin karena badanku rasanya tidak enak semua. Hhh.. jarang-jarang aku jatuh sakit, paling-paling dua atau tiga bulan sekali. Alice berkata jika besok pagi panasku belum turun, aku tidak harus masuk sekolah.

00:20

Ada pesan masuk dari Ley yang bunyinya, "Kau kemana saja seharian? Aku tidak melihatmu sama sekali.."

Aku segera memberikan balasan, menjelaskan bahwa aku sedang demam. Detik berikutnya pria itu memberi ucapan agar cepat sembuh dan aku tidak membalas lagi. Aku mencoba memejamkan mata.

Lihat selengkapnya