IAN:
Ley menyukai Cara.
Apa hubungannya denganku?
Aku masih ingat jawabanku saat itu, bahkan aku masih ingat jelas nada suaraku. Tidak ada ketegasan sama sekali di sana, yang ada aku merasa ragu. Ragu pada diriku sendiri bahwa memang hal ini tidak mempengaruhi perasaanku.
Ngomong-ngomong tentang perasaan, aku tidak yakin bagaimana sebenarnya perasaanku pada Cara. Yang jelas, aku peduli padanya. Aku peduli padanya karena dia teman lamaku, dan aku tidak ingin orang licik seperti Ley menjadi pasangannya. Katakanlah aku egois, tapi Cara layak mendapatkan yang lebih baik.
Tiba-tiba aku mendengar suara berisik di lantai bawah. Jangan-jangan Ley dan Randy bertengkar lagi? Hhh.. menyusahkan saja! Setiap kali Sarah pergi mereka selalu bertengkar. Awalnya mereka berusaha menyembunyikan ketidak akuran mereka dariku, tapi sejak aku pernah memergoki mereka beberapa kali, mereka jadi tidak sungkan. Toh aku tidak peduli pada mereka.
Kali ini, aku mendengar suara pukulan. Keras. Maksudku, jika kau ada di lantai dua dan kau sampai bisa mendengarnya, bukankah itu berarti pukulan tersebut sangat keras? Aku pun buru-buru ke lantai bawah, mencari-cari sumber suara. Tak lama kemudian aku melihat Randy keluar dari kamar Ley namun pria itu tidak melihatku. Aku langsung mengintip ke dalam kamar Ley dan mendapati bocah itu duduk di lantai sambil memegangi pipinya. Mengenaskan. Pipinya merah dan bibirnya berdarah, mungkin sobek.
"Kau mau meledekku?" Ujar Ley tanpa melihat ke arahku.
"Tidak, aku tidak peduli dengan kalian. Tapi berapa kali harus kubilang, jangan bertengkar di rumahku."
Ley hanya tertawa.
"Lucu sekali kau masih bisa tertawa dengan bibirmu yang sobek."
"Ini sudah biasa. Kalau kau mau ketenangan, laporkan saja pada ibumu apa yang terjadi hari ini. Sesekali Randy harus diberi pelajaran, bukankah begitu?"
"Kau sendiri saja yang lapor." Balasku yang lalu meninggalkan kamarnya.
Aku tidak ingin ikut campur urusan mereka sama sekali. Dan kebencianku pada Randy semakin meningkat. Orangtua macam apa yang tega memukuli anaknya sendiri? Dengan sikapnya yang terang-terangan kasar seperti itu di depanku, dia ingin menjadi ayahku? Lebih baik aku mati.
Saat aku kembali ke kamar, aku menuju ke balkon meskipun tidak merokok. Dan sepertinya ini hari keberuntunganku karena aku melihat Cara sedang olahraga. Aku melihat jam tanganku. Jam sembilan malam. Aku sudah mulai terbiasa melihat Cara lari di malam hari. Aku pun memakai sepatu olahragaku dan menyusul Cara.
Diam-diam aku lari di belakang gadis itu tanpa sepengetahuannya. Aku bertanya-tanya kenapa sudah sekitar lima menit lamanya dan dia masih tidak sadar seseorang mengikutinya. Saat aku menyusulnya di samping barulah aku tahu, Cara mengenakan earphone. Gadis itu terlihat terkejut saat melihatku dan buru-buru melepas earphonenya.
"Ian!?" Cara melotot.
Aku tersenyum. "Sedikit saran, sebaiknya kalau kau lari di malam hari jangan menggunakan earphone. Aku mengikutimu dari tadi dan kau tidak sadar. Bayangkan jika itu adalah orang jahat, kau jadi sasaran empuk untuk diculik, dirampok, atau apapun itu."
"Kau lupa perumahan kita ada satpam? Kalau ada orang berniat jahat padaku, pasti gampang tertangkap."
Aku memangut-mangut.
"Lagipula kenapa kau jadi sering olahraga jam segini?"
"Memangnya kau saja yang boleh?"
Cara cemberut. Ekspresinya lucu sekali sehingga aku tertawa.
"Aku seperti biasa butuh udara segar, saat melihatmu langsung saja aku ikut."
"Terlambat, aku sudah akan kembali ke rumah."
"Kalau begitu aku juga ikut."
Cara menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa? Bukankah rumahmu selalu terbuka untukku? Ayah dan ibumu sendiri yang bilang."
Cara hanya menggerutu.
***
CARA:
Aku tidak mengatakan ini, tapi sebenarnya aku tidak keberatan Ian mengikutiku. Aku senang kami bisa seperti dulu lagi dan aku merasa lebih aman dengannya. Entahlah. Sepanjang perjalanan pulang Ian menceramahiku tentang dunia perkuliahan. Pilih kampus yang benar-benar punya nama, jangan sampai salah pilih jurusan, dan lain sebagainya. Dan meskipun sekarang sudah hampir kelulusan, aku masih belum tahu akan lanjut ke mana. Bahkan aku tidak tahu jurusan apa yang benar-benar kuinginkan. Apa hanya aku yang seperti ini? Apa Ley dan Candy sudah punya keputusan?
Saat sampai di rumah, Ley berada di depan rumahku. Ada lebam di pipi kirinya dan bibirnya luka. Astagaa, apa ini perbuatan Randy lagi?
"Ley! Ada apa dengan wajahmu?" Ujarku sembari buru-buru menghampirinya.
Ley meringis kesakitan saat aku memegang bibirnya. "Yah.. begitulah."
"Pasti kau dipukul Randy lagi! Ini tidak bisa dibiarkan! Sampai kapan kau mau menyembunyikan ini? Sarah harus tahu monster seperti apa sebenarnya Randy!" Aku sudah akan berjalan ke rumah Ian namun Ley mencegah.
"Suatu saat aku akan memberitahu Sarah, tapi jangan sekarang."
"Kenapa?" Aku sungguh tidak mengerti.
"Nanti akan kuberitahu." Ley menatap ke arah Ian. "Saat kita sedang sendirian."
Ian mendegus. "Kau mengusirku?"
"Sudahlah.” Selaku. “Ley, kau mau memberitahuku sekarang? Masuklah dulu ke rumahku."
Ley pun meninggalkanku dan Ian.
"Ian, apa kau tahu Ley sering dipukuli Randy?"
"Ya, aku memergokinya beberapa kali."
"Dan kau tidak melakukan apapun?"
"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau ikut campur urusan mereka."
Aku ternganga. "Setidaknya kau bisa melerai sehingga Ley tiak sampai dipukul, atau kau bisa langsung lapor ke Sarah."
"Kau dengar sendiri Ley punya alasannya sendiri kenapa dia tidak mau lapor, dan sungguh, aku benar-benar tidak mau ikut campur. Mereka bukan keluargaku."
Aku menatap Ian tidak percaya dan meninggalkannya begitu saja. Memang sikapnya padaku sudah berubah, namun sikapnya yang dingin dan tidak mau tahu itu menyebalkan sekali. Jelas-jelas dia menyaksikan kekerasan, tapi dia memilih untuk membiarkannya. Meskipun dia membenci Ley dan Randy, tidak seharusnya dia membiarkan hal itu terjadi. Aku tidak mengerti sama sekali isi otak Ian. Aku tidak pernah mengerti Ian.
Ley sudah menunggu di kamarku, aku pun langsung menagih jawaban.
"Kau tidak mau mandi dulu? Jangan tersinggung, tapi kau bau keringat." Goda Ley.
Aku melempar bantal ke arahnya yang lalu diiringi dengan teriakan "Aww!". Rupanya bantal tersebut mengenai wajanya. Aku buru-buru minta maaf.
"Kuharap wajahku tidak bertambah jelek setelah ini."
"Salah sendiri kau mengataiku!"
Ley tertawa.
"Jadi? Sebenarnya kenapa kau tidak mau Sarah tahu?"
"Kurasa setelah ini kau akan jijik padaku." Ley menggelengkan kepala.
"Tidak, aku akan berusaha mengerti alasanmu."
Ley mengacak-acak rambutku. "Anak baik." Lalu dia melanjutkan, "Karena aku butuh uang."
Aku menatapnya tidak mengerti.
"Sebelum ini kehidupan kami di Polandia tidak terlalu baik. Tiba-tiba saja saat pindah ke Indonesia dan bertemu Sarah kehidupan kami jadi terpenuhi. Kami punya tempat tinggal yang layak, makanan yang berlimpah, uang, dan lain-lain. Di sini aku mendapat uang saku sendiri, dan sedang kukumpulkan untuk.. entahlah. Aku ingin hidup sendiri setelah lulus. Mungkin aku akan kuliah dulu sambil bekerja atau apapun, dan setelah uangku sudah cukup, aku akan kembali ke Polandia mencari ibuku."
Ah.. jadi ini yang dikatakan Ian waktu itu.. aku mengangguk-angguk mengerti. Kalau Sarah tahu, kemungkinan dia bisa menceraikan Randy dan kehidupan mereka kembali mengenaskan.
"Akhirnya kau memutuskan untuk menemui ibumu? Itu bagus sekali Ley!" Aku tersenyum. Aku senang sekali Ley akhirnya punya keberanian untuk itu.
Tiba-tiba Ley memelukku. Erat. Aku sampai sesak nafas.
"Terima kasih, kau selalu mau mendengarku."
Aku pun balas memelukknya.
***
"Lucy sudah tidak mau mengantarmu?" Aku menyindir Candy keesokan harinya saat gadis itu mengikutiku ke mobil usai sarapan.
Candy memutar bola matanya. "Mobil Lucy sedang di servis di bengkel."
Tidak lama kemudian Ley datang menyapa kami. Bertepatan dengan itu, Ian keluar dari rumah. Aku memutuskan untuk tidak menyapanya dan langsung tancap gas. Aku masih kesal padanya.
"Cara, asal kau tahu, aku berubah pikiran. Aku akan berusaha mengajak Ian balikan." Celoteh Candy.
Aku hanya ber-“ohhh”.
"Jadi sebaiknya kau jangan kecentilan. Kurasa Ley lebih cocok untukmu."
Apa-apaan? Bisa-bisanya Candy berkata seperti itu saat ada Ley di sini.