Pretty Thing

clearesta nathania
Chapter #9

Terakhir

CARA:

           Prom persis seperti yang kubayangkan.

Musik yang terlalu keras, orang-orang setipe dengan Candy yang berdandan berlebihan, dan pesta dansa ngawur ala anak SMA. Apa yang menyenangkan dari semua ini coba? Ditambah lagi, ketika kami baru turun dari mobil, aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku. Ada yang berbisik-bisik, dan ada juga yang hanya menatapku sengit dari atas sampai bawah. Bagaimana bisa aku bertahan lebih lama lagi di tempat ini?

Ley meremas tanganku. "Kau terlihat gugup." Bisiknya.

"Kau lihat kan semua orang menatapku tidak enak? Apa aku terlihat lucu?"

Ley menggeleng. "'Mereka hanya iri karena kau punya pasangan sekeren aku."

Aku menyikut lengannya dan tertawa, tingkat kepedean Ley memang luar biasa.

"Sudah merasa lebih rileks?"

Aku tersenyum. "Ya, terima kasih."

Saat kami masuk ke dalam gedung, Ley masih menggandeng tanganku. Apanya yang lebih rileks? Aku rasa tanganku malah berkeringat dingin sekarang! Ini hal yang baru bagiku, bergandengan tangan dengan seorang pria.. Memang harus ya Ley menggandengku? Memang kami adalah pasangan prom, tapi kan bukan pasangan betulan.

"Kita duduk di meja sana saja!" Ley menunjuk ke salah satu meja dengan sofa berbentuk setengah lingkaran yang kosong. Saat kami akan menuju ke sana, Candy tiba-tiba mengurungkan niatnya.

"Kau dan Cara saja yang duduk di sana, aku harus menemui teman-temanku. Ayo Ian, ikut denganku!" Cara menarik lengan Ian pergi dan Ian memberi tatapan minta tolong padaku. Aku memberinya tatapan prihatin sebagai gantinya.

Aku dan Ley kemudian menuju ke meja yang kebanyakan sudah diisi teman-teman sekelas Ley. Mereka adalah satu-satunya orang yang tidak memandangku dengan tatapan sadis sehingga aku merasa lebih baik.

"Aku selalu ingin ngobrol dengan Cara." Ujar salah satu gadis berkulit sawo matang di depanku, lensa kontaknya terlalu besar dan warnanya biru sehingga menurutku dia terlihat seperti tokoh dalam komik.

"Cara anaknya baik kok! Kalau tidak, tidak mungkin aku mau berteman dengannya. Kecuali aku tidak punya pilihan." Ley yang menimpali. Sekali lagi, aku menyikut lengannya. Pria itu hanya meringis dan akting kesakitan.

"Jangan membuatku malu!" Bisikku pada Ley.

Rasanya sudah berjam-jam lamanya kami duduk dan ngobrol. Sesekali Ley pergi untuk mengambilkan kami minum. Saat Ley pergi, aku selalu merasa tegang. Aku pikir teman-teman Ley hanya mau berbicara denganku saat ada dirinya, tapi aku salah. Meskipun tidak ada Ley mereka tetap mengajakku ngobrol. Jadi ini rasanya punya teman? Aneh sekali, sudah lama aku tidak ngobrol-ngobrol seperti ini dengan orang lain.

MC mulai mengumumkan bahwa sekarang adalah waktunya untuk berdansa dan semua orang mulai bangkit berdiri. Aku tetap duduk.

Ley mengulurkan tangannya padaku. Aku menggelengkan kepala.

"Kenapa?" Tanya Ley dengan wajah memelas.

"Aku tidak bisa dansa, dan tidak mau dansa."

"Kau pikir aku bisa? Nikmati saja musiknya, masa mau duduk terus? Bokongmu bisa kram."

Aku melotot. "Aku lebih memilih bokongku kram."

"Bercanda kok. Ayolaah, lima menit saja!"

"Tidak."

"Ya."

"Tidak."

"Cara Eudia, kau tidak mau berdansa denganku?"

Aku meghela nafas. Meyerah. Sepertinya dia tidak akan berhenti sebelum aku menyetujui permintaannya. "Lima menit." Jawabku akhirnya.

Ley tersenyum lebar. Aku memperhatikan lesung pipinya. Pria itu mengulurkan tangannya sekali lagi dan aku menerimanya. Aku bangkit berdiri dari kursi dan mengikutinya ke kerumunan orang yang mulai berdansa. Astaga, lagu berisik seperti ini sama sekali bukan tipeku.

***

 IAN:

"Ian!"

"Iaann!!"

Aku tersentak dari lamunanku. "Apa?"

"Kok bengong? Ayo dansa!" Candy menarikku untuk bergabung dengannya.

"Ohh.." aku meletakkan minumanku dan mengikuti Candy yang sudah menggerak-gerakkan pinggul dan tangannya mengikuti irama lagu.

Candy menyabotaseku seperti perkiraan. Dia memperkenalkanku pada teman-temannya dan melibatkanku di setiap obrolan. Sesekali juga aku bertemu dengan teman lamaku dan mereka mengajakku bicara basa basi tidak penting. Sejak datang aku belum sempat berbicara satu katapun pada Cara. Dan sialnya, Ley memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.

Sedari tadi aku mempehatikan Ley dan Cara, terutama saat mereka bergandengan tangan. Apa-apaan bocah itu? Yang membuatku kesal adalah saat dia menggandeng tangan Cara, dia melakukannya persis di depanku, seakan-akan ingin memamerkannya padaku. Apa dia mau balas dendam? Sudah begitu sekarang, mereka berdua berdansa dan bersenang-senang. Aku benar-benar teperangkap. Padahal aku ingin sekali menghampiri Cara dan memuji penampilannya malam ini, aku ingin bilang pada Cara bahwa malam ini dia terlihat cantik. Aku belum sempat mengatakannya.

Setelah berdansa dengan Candy, aku kembali ke meja untuk mengambil minuman. Candy sudah hilang entah kemana, mungkin lanjut berdansa dengan teman-temannya. Tiba-tiba di pertengahan, lagu yang diputar berubah menjadi lagu romantis. Aku refleks menoleh ke sekelilingku, mencari-cari keberadaan Ley dan Cara. Beruntung, aku tidak menemukan Ley. Tapi aku menemukan Cara. Gadis itu berdiri dengan canggung sambil juga melihat-lihat ke sekeliling. Lalu mata kami bertemu, dan gadis itu tersenyum padaku. Aku balas tersenyum.

"Mana Ley?" Aku menghampiri Cara.

"Tidak tahu. Tadi aku dansa dengannya cuma sebentar, lalu seseorang mengajaknya dansa dan aku jadi punya alasan untuk keluar dari kerumunan makhluk-makhluk itu."

Aku menertawakan pemilihan katanya. "Mau minum?"

Cara menggeleng. "Aku tidak minum bir."

"Aku tahu, ini tebs."

Cara lalu menggambil gelas dari tanganku dan menghabiskannya dalam sekali teguk.

"Kukira semua minuman di sini bir!"

"Tidak juga, di meja sebelah sana mereka menyediakan soda."

"Aku tidak melihatnya."

"Karena kau sibuk ngobrol dengan Ley."

"Sekarang tidak."

"Mau dansa?"

Cara mengernyit mendengar pertanyaanku. "Kau sudah gila." Ujarnya

"Ya, aku sudah gila. Tapi serius, lagunya tidak berisik seperti tadi dan aku jadi ingin dansa. Akan aneh jika berdansa sendirian di saat lagunya romantis begini, ya kan?"

Saat aku mengulurkan tangan, Cara tidak berkata apa-apa lagi dan menerima tanganku. Sedetik kemudian kami sudah larut berdansa dengan iringan lagu romantis. Dengan hati -hati aku meletakkan kedua tanganku di pinggul Cara. Diluar dugaan, gadis itu membiarkanku. Aku pun memandunya agar meletakkan tangannya di leherku. Kami tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini. Berada sedekat ini dengan Cara membuatku lupa caranya bernafas dengan benar.

"Kau mau keluar dari sini?" Tanyaku.

"Ke mana?"

"Rahasia."

"Kenapa begitu?" Cara cemberut.

"Pokoknya lebih asik daripada di sini."

"Oke, aku ikut. Aku sudah mulai bosan."

Aku tersenyum. Tanganku yang masih ada di pinggul Cara sekarang bergerak menelusuri lengannya, menggenggam tangannya, dan menarik gadis itu pergi dari kerumunan. Kami pun berjalan ke parkiran dan saat aku akan membuka kunci mobil, Cara menyela.

"Tunggu, kalau kita pergi pakai mobilmu, bagaimana Candy dan Ley akan pulang?"

Benar juga. Ah, sial. "Hmm.. kalau begitu tidak usah pakai mobil. Kita jalan kaki saja."

"Jalan kaki? Memangnya tempatnya dekat?"

Lihat selengkapnya