pREY

Permadi Adi Bakhtiar
Chapter #1

Prologue

Banyak orang bicara bahwa kita hidup hanyalah untuk mampir minum karena tujuan akhir kita adalah akhirat tapi mengapa orang-orang yang kulihat ini sangatlah bernafsu meraup keuntungan bahkan saling menyikut satu sama lain. Yah namanya juga manusia, kita sering sekali mencari bahasa yang sulit untuk mengalihkan atas penderitaan kita di dunia. Hmm.… kalau dipikir-pikir apakah kita manusia adalah korban sedangkan dunia yang kita tinggali ini adalah pelakunya atau malah sebaliknya? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing.

Ah mending kita sedikit menggeser topik pembahasan kita kali ini. Keluargaku terutama ibuku bisa dikatakan adalah korban dari dunia ini. Dia berasal dari keluarga biasa dan seperti banyak orang, ia mempunyai impian untuk bisa sukses di ibukota. Hehehe betapa naifnya dirinya berpikir bahwa ia akan sukses di ibukota padahal dirinya berasal dari keluarga biasa, sukses di ibukota? kota yang salah, orang yang salah.

Namun paling tidak ia masih memiliki sedikit harapan untuk bisa bertahan hidup melalui kakaknya (biasa kupanggil paman) yang menikah dengan seorang bangsawan sehingga ia menyandang status bangsawan dari istrinya. Kehidupan awal ibuku di ibukota bisa dikatakan berjalan lancar karena ia datang bukan sebagai pekerja melainkan sebagai mahasiswa. Ia berhasil masuk ke salah satu universitas ternama berkat kerja kerasnya.

Kehidupannya nampak lancar, dirinya tak perlu memikirkan biaya hidup maupun tempat tinggal karena ia menumpang ke rumah paman. Sedangkan kehidupan kuliahnya berjalan sangat lancar, ia terkenal sebagai mahasiswa yang rajin dan pintar, ia juga sangat aktif dalam berorganisasi. Akan tetapi hal yang paling mengejutkan adalah kehidupan percintaannya, ia pada akhirnya bertemu dengan seseorang yang aku lupa namanya yah untuk sekarang mari kita panggil dia sebagai ayah. Kenapa ayah? Karena kita sudah tahu bagaimana akhir ceritanya. Ayah berasal dari keluarga bangsawan, hal ini terlihat dari kemewahan yang selalu ia tunjukan di kampus. Ibuku selalu bercerita bahwa ayah adalah orang berkarisma sehingga membuatnya berhasil luluh di tangannya (entah sudah berapa banyak aku mendengar cerita ini, mengingatnya saja sudah membuatku mual).

Kehidupan bebas jauh dari orang tua, biaya hidup terpenuhi dan memiliki seseorang untuk dicintai merupakan sebuah kombinasi yang sempurna untuk seseorang yang baru di ibukota. Sayangnya hal-hal tersebut juga bisa menjadi pedang bermata dua. Kebebasan yangs selalu didambakan oleh ibuku akhirnya berakhir dengan tragedi karena kebebasannya terlalu bebas. 5 bulan semenjak mereka menjalin hubungan ibuku mengandung hasil buah “cinta” mereka.

Menyadari hal itu membuat paman sangat marah sehingga membuat ia memukuli ayah sampai babak belur. Mau bagaimanapun ayah tetaplah seorang bangsawan, maka tindakan main hakim sendiri dari paman ini membuat terciptanya percikan antara keluarga ayah dan keluarga istri paman. Hingga pada akhirnya tante (istri paman) yang seorang politisi harus ikut campur. Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka diambillah jalan tradisional yaitu pernikahan. Paman yang awalanya sangat emosi kini sudah mereda setelah dijelaskan oleh tante tentang keuntungan dari pernikahan ini. Dengan pernikahan ini ibuku akan mendapatkan status bangsawan dan secara tidak langsung dengan pernikahan ini juga membuat hubungan dari keluarga ayah dan keluarga tante bisa lebih baik.

Pada akhirnya pernikahan dilangsungkan, jika pada biasanya pernikahan selalu diiringi kebahagiaan namun kala itu semua nampak sunyi tak berani berucap apapun. Salah satu hal yang menonjol dari pernikahan kala itu adalah kondisi perut ibuku yang nampak sudah membesar tanda adanya kehidupan di perutnya. Satu bulan kemudian anak pertama mereka yaitu kakak lahir di dunia.

Meskipun di awali dengan tragedi namun pernikahan mereka sempat mengalami masa-masa indah meskipun cuma sebentar. Masa indah ini diakhiri ketika anak pertama mereka lahir dan tanpa mereka sadari ternyata keluarga ayah selama ini sedang mempersiapkan dokumen untuk pengasingannya dari keluarga sekaligus penghapusan statusnya sebagai bangsawan. Menyadari hal ini membuat ayah yang sempat menjadi orang yang bertanggung jawab kini jadi sangatlah marah. Kemarahan ini ia lampiaskan kepada ibu dan kakak.

Di sisi lain keluarga tante juga diberi tahu tentang pengasingan ayah, hal ini membuat ia sangat marah dan ketika sampai di rumah ibu ia langsung memukuli ayah lagi namun kali ini keluarganya tidak ada yang peduli satu-satunya yang peduli adalah ibu. Ibu memohon-mohon kepada paman untuk berhenti memukuli ayah. Melihat tangisan dari adik tersayangannya membuat paman menahan tinjunya. Ia pun mengancam ayah supaya tidak menyakiti ibu lagi selamanya.

10 tahun kemudian anak kedua mereka lahir dan anak itu adalah aku. Kehidupan keluarga kami nampak biasa dari luar. Ibu pergi bekerja sebagai PNS sedangkan ayah hanya berdiam diri sembari mabuk di dalam rumah dan ketika ibu pulang di sore harinya ayah sering memukulinya entah karena emosinya yang buruk atau karena pengaruh alkohol, bagiku itu adalah pemandangan yang biasa.

Oh iya sementara itu seingatku kakakku yang berbeda 10 tahun denganku tidak pernah sama sekali menunjukan emosinya ketika berada di dalam rumah. Dulu aku menganggap apa yang dilakukan oleh kakak adalah sebuah keanehan namun kini aku mulai paham apa yang ia rasakan kala itu. Aku dan kakakku memang dibesarkan dengan cara yang berbeda. Mungkin contoh mudahnya adalah ketika aku, kakak dan ibu pergi untuk jalan-jalan keluarga dan aku mulai tertarik terhadap suatu makanan atau mainan ibu selalu berbisik kepadaku “Nanti ya dek belinya nunggu ibu gajian ya,” bisikan yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Kakakku? ia tak pernah meminta apapun namun ketika ia mendapatkan nilai bagus di sekolah ia langsung menuju ibuku dan mengharapkan pujian datang dari mulut ibuku. Meskipun ibuku selalu memuji prestasinya kakakku masih tidak menunjukan emosi sama sekali. Jadi perbedaan polah asuh terbesar adalah ketika kakakku tidak dimanja namun ia sangat diharapkan oleh ibu untuk mengangkat statusnya yang hancur sedangkan aku memang dimanja namun aku sama sekali tidak menjadi harapan ibu, aku nampak seperti angin yang berlalu begitu saja.

Tak terasa beberapa tahun sudah berlalu kini kakakku akan beranjak kuliah. Kakakku yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu kampus top memutuskan untuk meninggalkan rumah dan memilih ngekost. Keputusan ini ia pilih karena baginya ngekost lebih murah daripada harus pulang pergi kampus rumah, hal lain yang mempengaruhi juga adalah mayoritas tabungan keluarga kami habis untuk membeli alkohol ayah dan biaya untuk pindah ke ibukota baru. Kini kakak sudah pergi namun kondisi rumah tetap sama, ibu kerja keras sementara ayah mabuk-mabukan meskipun kini ia mulai jarang melakukan tindakan kekerasan terhadap kami karena faktor kesehatannya yang menurun akibat kebanyakan minum alkohol.

Lihat selengkapnya