BERLIN, AKHIR OKTOBER, EMPAT TAHUN YANG LALU
Hari ini tepat satu bulan Gadis berada di Berlin. Menurutnya, keimpulsifannya lah yang membuatnya lebih memilih kota dan negara ini ketimbang keindahan Florence, atau kecantikan Cinque Terre, atau keromantisan Verona—beberapa kota di Italia yang berada di urutan teratas untuknya tinggal sementara. Keimpulsifannya demi melihat seni yang terpampang sepanjang mata memandang di kota ini. Dan, tentu saja, keekonomisan biaya hidup di sini dibandingkan kota lain di Eropa.
Sembilan jam pertamanya di Berlin lah yang membuat hidup Gadis berubah. Di minggu keduanya menginjak benua Eropa, ia langsung mengganti rencananya untuk tinggal satu bulan di Italia dengan menyewa mingguan sebuah studio di Berlin—alih-alih lima hari di hostel pilihannya. Sembilan jam yang sanggup menggeser keinginan tertinggi Gadis untuk mengunjungi Iceland selama ia berada di wilayah Schengen. Sembilan jam berada di Berlin membuat Gadis merasa seperti di kota tempatnya dibesarkan. Sembilan jam yang merubah hidup Gadis.
Empat bulan yang lalu, Gadis mendapatkan visa turis Schengen-nya dan dua bulan yang lalu, kontrak kerja sebagai musisi regular di hotel—yang sudah beberapa kali diperpanjang, habis. Ia memutuskan untuk menunda kontrak selanjutnya dan kembali memenuhi keinginan yang selalu berada di tempat tertinggi dalam hidupnya: keluar dari zona nyaman dan memulai petualangan dengan nominal angka berapa pun itu di tabungannya. Setelah riset tahunan dan perhitungan matang, Gadis akhirnya berhasil menandai kotak bertuliskan Pergi dan Tinggal di Kota Mana Saja Di Eropa dengan tanda centang yang ditulisnya satu tahun yang lalu.
Dua tahun lamanya ia kursus bahasa Italia, memendam keinginan terbesarnya untuk kuliah musik di negara pasta, semuanya buyar begitu Gadis menginjakkan kaki di Berlin; negara keempat, kota keenam selama perjalanannya di Eropa sebelum di bulan keduanya ia akan menghabiskan sisa 30 hari dari 90 hari visanya di salah satu kota impiannya di Italia sambil mengasah kemampuan berbahasanya.
Gadis melirik jam tangannya dan mengerang dalam hati melihat angka yang tertera di jam digitalnya. 11:59. Sudah bisa dipastikan ia akan terlambat. Orang Jerman terkenal sangat tepat waktu. Kakinya mengetuk lantai gerbong S Bahn yang sebentar lagi akan berhenti di Warschauer Strasse, stasiun tujuannya. Keterlambatannya dikarenakan kecerobohannya meletakkan buku catatannya yang entah ia letakkan di mana setelah membereskan barangnya yang bertebaran di seluruh penjuru studio yang disewanya. Gadis mengerang lagi begitu menyadari bahwa ia akan membutuhkan waktu 14 menit untuk berjalan dari stasiun pemberhentiannya ke Pasta Presti, restoran favoritnya yang terletak di Wühlischstrasse.
Begitu pintu keretanya terbuka, Gadis segera keluar dan berjalan cepat. Ia yakin bisa mencapai tempat tujuannya 4 menit lebih cepat. Paling tidak ia hanya akan terlambat 17 menit. 17 menit lebih baik daripada 20-sekian menit. Di belokan terakhir, matanya menyapu deretan sepeda yang terparkir di depan restoran dan mendapati sepeda Bernhard terparkir di sana. Mempercepat langkahnya, Gadis masuk ke dalam restoran kecil dan melihat sosok Bernhard berdiri di depan konter sambil berbincang dengan Elvi, pemilik restoran berdarah setengah Italia yang perbedaan usia 3 tahun mereka dan kelancaran berbahasa Inggris Elvi—serta kemampuan berbahasa Italia Gadis—menjadikan mereka teman dekat dalam waktu singkat.
Elvi melihat Gadis dan tersenyum. “Hei.”
Bernhard membalikkan badannya dan perlahan, sudut bibirnya terangkat, memberikan jantung Gadis olahraga kecil.
Berusaha mengatur nafas, Gadis berkata, “Maaf, aku terlambat. Aku harus mencari buku catatanku dan—”
“Tidak masalah.” Potong Bernhard sambil membenahi poni Gadis yang berurai, hal yang disadari Bernhard sangat merisaukan Gadis. “Aku juga baru sampai. Dua jam yang lalu klienku menelepon dan memintaku melakukan revisi. Ugh! Revisi sialan itu membuatku lupa waktu.” Geram Bernhard.
Gadis mengerjapkan mata dan mengangguk, sadar bahwa wajah kesal Bernhard tidak akan membuatnya terlihat jelek dan itu cukup membuat suara Gadis hilang entah ke mana.
“Pesanan seperti biasanya?” pertanyaan Elvi menyelamatkan kegaguan Gadis.
“Ya, tolong. Kalau bisa hari ini aku minta kopinya dua shot saja.” Ujar Gadis pelan. Ia tahu pasti, berbagi meja dengan Bernhard sudah cukup membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ia tidak akan membutuhkan tiga shot kafein di cangkirnya seperti biasanya.
Di samping Gadis, Bernhard tersenyum kecil seolah menyetujui keputusan Gadis barusan. “Aku masih heran kenapa kamu perlu tiga shot di siang hari dan kamu punya lambung lemah.”
Hari ini adalah kali ketiga Gadis melewatkan waktu makan siang bersama Bernhard, meskipun entah sudah berapa siang mereka bertemu di restoran ini dan hanya saling melempar senyum dan beberapa kali saling mencuri pandang.
Semua dimulai tiga hari yang lalu, ketika Gadis berniat datang lebih awal ke Pasta Presti untuk mencari semangat menulis buku kedua tentang cerita perjalanannya ke berbagai negara yang sedang dikerjakannya—dan sudah terbengkalai satu minggu lamanya karena maag-nya kambuh. Editornya menghubunginya minggu lalu dan memberikan Gadis masa tenggat sepuluh hari sejak telepon via Skype terjadi. Gadis melewatkan empat hari dengan santai, berjalan kaki mengelilingi Berlin, atau sekedar duduk sambil memainkan gitarnya di taman kota sebelum akhirnya alarm kalender di ponselnya memberitahukan ia hanya punya sisa waktu satu minggu untuk mengirimkan draft 2 bab terakhirnya. Panik, Gadis membulatkan tekad apa pun yang terjadi, ia akan melewatkan harinya di Pasta Presti, fokus mengerjakan tulisannya tanpa gangguan.
Gadis sudah berada di restoran kecil menyenangkan itu sejak jam sepuluh pagi dengan laptop, buku catatan dan earphones di atas meja favoritnya di dekat jendela. Perlahan tapi pasti, ia mencicil kata demi kata hingga ia tersadar restorannya mulai ramai. Ia melihat waktu yang tertera di jam laptop yang menunjukkan jam makan siang. Benaknya bertanya-tanya apakah ia akan melihat sosok laki-laki tinggi tampan yang sudah beberapa minggu terakhir ini melewatkan waktu makan siangnya di restoran ini sambil beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis dan memberinya senyuman menawan setiap kali mata mereka bertemu.
Dari beberapa minggu itu, Gadis mengambil kesimpulan bahwa laki-laki yang entah siapa namanya itu adalah salah satu dari sekian banyak teman baik Elvi karena mereka selalu terlibat percakapan seru dan saling melempar gurauan. Gadis ingin sekali menanyakan tentangnya ke Elvi, hanya saja ia selalu mengurungkan niatnya di detik mulutnya terbuka.
10 menit berlalu sejak pertanyaan sekelebat di benak Gadis dan semua meja sudah terisi, dari sudut matanya, Gadis melihat laki-laki itu turun dari sepedanya. Ia berjalan masuk, melemparkan pandangan ke penjuru ruangan dengan sudut bibir semakin menurun. Ketika matanya melihat Gadis, sudut bibirnya terangkat. Gadis balas tersenyum sebelum kembali ke layar di depannya.
Lima menit kemudian, Elvi menghampirinya. “Hei, Gadis. Kamu mau makan siang sekarang atau nanti?”
Berpikir sejenak, Gadis menjawab, “Sekarang saja. Aku tidak mau lambungku perih lagi seperti minggu lalu.”
“Oke. Dan umm, kamu keberatan tidak, kalau berbagi meja dengan temanku?” Tanya Elvi dengan raut wajah seolah meminta maaf. “Semua mejanya penuh.”
Gadis tahu siapa yang Elvi maksud. Jantungnya melewatkan satu detakan. “Ya. Oke, Elvi. Tidak masalah.”
Elvi tersenyum lebar. “Kamu yang terbaik!” serunya sembari mendaratkan kecupan di pipi Gadis. “Bernhard!” panggil Elvi, sebelah tangannya melambai ke arah Bernhard yang berdiri di sudut rak merchandise, sibuk dengan ponsel di tangannya.
Bernhard mengangkat kepalanya dan berjalan menghampiri meja Gadis. Ia melemparkan senyumnya pada Gadis.