Pria dan Gadis

Parasari
Chapter #3

Pria

12:30. Pria menyeruput kopinya tanpa semangat. Dua tahun tinggal di kota ini dengan bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan membuatnya lelah. Batas waktu dan revisi tanpa henti adalah makanan sehari-harinya. Ditambah dengan kebiasaan buruknya terlambat sampai kantor, pekerjaannya semakin menumpuk. Mungkin ia membutuhkan suasana baru. Berlibur ke suatu negara dengan sinar matahari konstan, atau pulang sebentar ke Indonesia sebelum kembali lagi ke Berlin terdengar seperti angin segar. Natal sebentar lagi. Mungkin ia bisa mengecek harga tiket pulang. Sambil menunggu ide itu terlaksana, ada baiknya ia menyelesaikan pekerjaan terakhirnya di minggu ini.

Pria menarik napas panjang, menenggak habis kopinya, menggulung lengan kemeja flanelnya dan kembali bekerja. Otak penatnya sedikit terhibur dengan membayangkan jam session nanti malam bersama dengan rock and roll band favoritnya di pub di Bundesallee.

Layar ponselnya menyala dan terpampang pesan dari Klaus, sang vokalis band yang menjadi teman baiknya sejak kali pertama mereka bermain bersama di atas panggung di minggu awal Pria tinggal di Berlin.

Santa Klaus: oi, arschloch. wo bist du? [1] 12:41

Pria Erlangga: Hölle. Bääääm! [2] 12:42

Santa Klaus: keine angst digger wir holen dich da raus! gib nicht auf! [3] 12:45

Pria tertawa. Tatanan bahasa teman gilanya yang satu itu memang terdengar seperti tidak pernah mencicipi bangku sekolah, tapi Pria bisa memastikan bahwa Klaus adalah satu dari sedikit orang dengan hati paling tulus yang pernah ditemuinya. Bersemangat, Pria buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa meninggalkan kantor secepatnya. Tidur satu jam sebelum kembali berangkat untuk bersenang-senang adalah hal yang akan dibutuhkannya. Mungkin ia tidak akan pulang ke apartemennya malam ini. Dan besok pagi, seseorang akan membangunkannya dan teman-temannya di depan etalase toko karena terlalu mabuk untuk berjalan pulang. Seperti biasanya setiap akhir pekan.

Hal inilah yang membuat Pria mengurungkan niatnya untuk mengadopsi anjing, satu-satunya mahluk hidup yang masuk hitungannya untuk merasa dibutuhkan dan dicintai—selain ibu dan adik perempuannya di Indonesia, tentunya. Entah siapa yang akan memberi anjingnya makan kalau ia bisa lebih dari 18 jam berada di luar rumah. Opsi untuk punya pacar benar-benar di luar pikirannya. Perempuan itu terlalu rumit untuk dimengerti. Apalagi dengan hobi minum dan kebutuhan bermusik yang mengharuskannya berbaur di luar waktu kerja. Lupakan tentang tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga sejak kepergian ayahnya dari rumah tanpa pesan dan tanpa jejak yang mengharuskannya berpikir lebih keras untuk keluar dari segala keterbatasan materi demi ibu dan adiknya. Atau jalan pikirannya yang tidak lazim. Pacar terakhirnya, Rahma, memutuskannya tiga tahun yang lalu karena kesibukan Pria dengan kuliah di hari biasa, serta dunia musik dan substansi di akhir pekan hingga kesempatan mereka untuk kencan di dunia maya hilang begitu saja.

Beberapa kali Pria mencoba menjelaskan pada Rahma tentang hidupnya yang penuh perjuangan di negeri orang dan apa yang dibutuhkannya untuk tetap waras yang, tentu saja, sia-sia. Rahma adalah perempuan dari keluarga tanpa konflik yang selalu siap memberikan apa pun yang diinginkannya. Tidak ada kata-kata ‘berjuang’ dalam kamusnya. Siapa yang perlu berjuang kalau segalanya mudah? Rahma dibesarkan dengan sistem dan segala keteraturan, hal yang tidak pernah dirasakan Pria. Rahma—dan beberapa perempuan lain—selalu berkata bahwa Pria adalah laki-laki paling egois yang pernah dipacarinya. Mungkin mereka benar. Tapi Pria tidak peduli. Ia hanya ingin bahagia menjalani hidup yang penuh kejutan ini. 

12 jam kemudian, Pria duduk di meja bar dengan segelas bir di tangannya. Kepalanya bergoyang mengikuti ketukan musik yang disajikan The Santa Klaus’ Boys. Pria benar-benar tidak mengerti kenapa Klaus memilih nama itu untuk band-nya atau kenapa Nic dan Wolfgang tidak menentang ide Klaus. Terdengar begitu menggelikan di telinga. Tapi siapa peduli dengan nama? Yang penting adalah rasa musiknya!

Tiba saatnya Klaus memanggil nama Pria untuk maju ke atas panggung. Pria membakar rokoknya dan menyambar Foxy, Fender Stratocaster kesayangannya. Setelah memastikan semuanya berfungsi, ia menarik lepas ikatan rambutnya, membiarkan rambut hitam lurus sebahunya terurai. Ia bisa mendengar teriakan perempuan-perempuan di bagian belakang. Sudut bibirnya terangkat. Ia tahu pasti, mereka semua terpesona oleh rambut indahnya. ‘Setengah Pocahontas dan setengah Hawaii’ adalah jawaban yang selalu diberikannya setiap kali para perempuan menghampiri untuk memberi pujian tentang rambutnya dan disusul dengan pertanyaan tentang darahnya.

Klaus mengangkat alisnya, menyodorkan selinting ganja—satu-satunya substansi yang disukai mereka semua dengan alasan ‘herbal, jadi tidak berbahaya’—ke arah Pria. “Lagu apa?”

Pria menukar rokoknya dengan ganja di tangan Klaus, menghisapnya dalam-dalam selama beberapa kali lalu menjawab pertanyaan Klaus dengan memainkan intro Freedom dari Jimi Hendrix yang langsung disambut dengan sahutan gitar Klaus dan bass Nic. Senyum Pria semakin lebar. Ia bisa merasakan darahnya mulai panas, perpaduan alkohol, ganja, dan semangatnya berada kembali di atas panggung. Memejamkan mata, ia mulai bernyanyi dan seluruh badannya ikut bernyanyi merayakan kebebasan.

“Hei, Pria, bangun. Pria!” suara Klaus semakin terdengar jelas di telinganya.

Pria membuka mata dan mendapati dirinya di atas sofa di flat Klaus. Sinar matahari langsung menyambut indera penglihatannya. Ia mengerang.

Untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir, mereka semua berhasil terlelap di flat Klaus yang sekaligus merupakan markas Santa Klaus’ Boys, dengan semua instrumen aman di dalam gudang. Mereka masih cukup sadar untuk berjalan pulang dan membawa instrumen masing-masing. Biasanya mereka menitipkan instrumen di pub dan mengambilnya kembali esok siang. Tapi tidak kali ini. Pertunjukan semalam lebih dahsyat dibandingkan alkohol dan semua substansi.

“Anna sudah di jalan. 30 menit lagi dia sampai dan aku berencana untuk melewatkan Sabtuku dengan seks hebat, makanan buatannya dan alkohol di sistem kami. Tanpa penonton, tentunya. Jadi, kamu harus bangun dan keluar dari sini. Nic dan Wolfgang sudah pergi dari sejam yang lalu. Ayo, bangun dan pergi dari sini.” Seru Klaus.

Lihat selengkapnya