Aroma Hujan Dan Teh Manis
---
Sepulang sekolah, Tesa tak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang melihatnya berjalan sendirian. Begitu bel berbunyi, ia langsung keluar dengan langkah cepat. Sekolah yang dulu ia banggakan kini terasa mengerikan baginya. Semua murid menatapnya penuh kecurigaan, seolah-olah dia dalang dari semua kejadian aneh yang menimpa para finalis Miss Endfield tahun lalu.
Tapi satu hal yang tetap dipegang teguh oleh Tesa—prinsip ekonominya. Oke, kakinya masih agak pegal, tapi sudah jauh lebih baik dibanding pagi tadi. Lagi pula, kali ini ia bisa berjalan santai tanpa terburu-buru. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan gerbang sekolah, perasaan aneh muncul di hatinya. Seperti ada yang mengikutinya.
“Hei, lo ngapain ngikutin gue, Gin?” tanya Tesa sambil menoleh ke belakang.
Di sana, Gin berjalan santai dengan tangan di saku celana, sementara tangan lainnya menenteng payung.
“Gue gak ngikutin. Kebetulan aja kita satu arah,” jawab Gin dengan nada datar. “Dan gue bilang kan, ada sesuatu yang gue suka siang ini?”
“Oh iya, apa itu?”
Gin hanya tersenyum misterius sambil mendongak ke langit. “Hujan.”
Tesa mengikuti arah pandang Gin dan menemukan sekumpulan awan hitam menggantung di kejauhan. Ia mengernyit. “Kayaknya jauh, deh.”
“Sepuluh kilometer arah timur,” kata Gin, nada suaranya seperti ahli meteorologi. “Angin bertiup 33 knots dari timur ke barat. Sekitar sepuluh menit lagi awan itu bakal sampai di sini.”
Tesa memandangnya skeptis. “Lo sok tahu banget.”
“Enggak. Gue cuma merasakan udara panas yang tadi berembus bawa uap air. Itu pertanda bakal turun hujan.”
Tesa mengangkat alis. “Gimana caranya lo ngerasain?”
Gin tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan payungnya kepada Tesa.
“Ini buat lo.”
Tesa semakin heran. “Terus lo gimana?”
Gin hanya tersenyum, masih dengan ekspresi santainya.
Dan seperti yang sudah diprediksi Gin, tepat sepuluh menit kemudian hujan turun dengan deras. Tesa menatap kagum pada cowok aneh di sampingnya yang berdiri di bawah guyuran hujan tanpa sedikit pun berusaha menghindarinya. Gin memejamkan mata, seolah menikmati setiap tetes air yang membasahi tubuhnya.
“Gue heran sama lo, Gin.”
Gin membuka satu matanya. “Heran kenapa?”
“Kalo lo suka hujan-hujanan, kenapa lo bawa payung segala?”
Gin terkekeh. “Kan tadi gue bilang, itu buat lo.”