Pria Pilihan Suamiku

aisakurachan
Chapter #1

Permohonan yang Tidak Diinginkan

“Nur, aku kangen.” 

Menur yang baru saja meletakkan secangkir teh di hadapan Wira, mendongak menatap mantan suaminya itu. Terkejut.

“Mas ngomong apa tho?” Menur menggeleng. Tidak ingin mendengar lanjutan kalimat itu.

“Mas serius, Nur. Jangan setega ini lho sama, Mas.” Wira berusaha meraih tangan Menur yang masih bergerak membuka toples kue sisa lebaran di meja, tapi Menur berhasil menarik tangannya lebih cepat.

“Ndak boleh, Mas. Kita sudah ndak nikah lagi.” Menur tidak mau menambah dosanya yang sudah menumpuk dengan menyentuh pria yang bukan lagi suaminya. Mereka memang sudah berpisah, tidak boleh bersentuhan lagi. Wira sendiri yang mengusirnya dua bulan lalu.

“Halah, dikit aja lho. Kayak sama siapa aja.” 

Wira bergeser mendekati Menur yang duduk di ujung lain kursi panjang itu. Hanya ada satu kursi panjang di ruang tamu rumah Menur yang memang sederhana itu. Bukan sofa, tapi kursi kayu jati yang umurnya lebih tua dari Menur. Sesuai dengan rumah tempatnya lahir yang memang sederhana.

“Dikit juga ndak boleh, Mas. Kita bukan suami istri lagi.” Menur memilih berdiri untuk amannya.

“Kalau Mas mau nemuin Gita besok aja. Gita sudah tidur, Mas” Menur mengalihkan pembahasan agar Wira tidak semakin ngawur.

“Aku ndak cuma mau nemuin Gita lho. Aku juga kangen sama ibunya.” Wira tersenyum, tidak menyerah.

“Mas datengnya kemaleman, Gita udah tidur.” Menur berpura-pura tidak mendengar ucapan rindu yang bertubi-tubi itu. Memang hanya pembahasan tentang Gita—anak mereka satu-satunya—yang masih relevan di antara mereka.

“Nur, jangan jual mahal gitu. Kamu tahu kalo aku suka ngomongnya ngawur kalau marah. Ndak usah kamu denger. Aku pingin kita rujuk lagi, Nur.” Wira ikut berdiri dan mendekati Menur yang kini menggeleng kuat-kuat sampai jilbab hitam yang dipakainya ikut berkibar padahal tidak terlalu lebar. 

Menur juga mundur lagi, memperlebar jarak. Kalau Wira terus mendekat, Menur akan memanggil ibunya yang ada di kamar untuk menemani. Menur juga sebenarnya sudah malas membiarkan Wira masuk tadi, karena tidak pantas pria yang sudah bukan suaminya datang malam-malam. Tapi Menur terpaksa luluh saat Wira menyebut ingin bertemu Gita.

“Itu udah ndak bisa, Mas. Udah tiga kali Mas ngucapin talak. Kita ndak bisa rujuk lagi.” Setelah merasa dalam jarak aman, Menur baru bisa menanggapi permintaan aneh itu. Permintaan rujuk itu tidak amat mengejutkan, meski tidak terduga. Menur sudah pernah menghadapi Wira yang datang merayu untuk rujuk.

Wira menyipitkan mata. “Jangan ngawur! Ndak mungkin!” Suara lembut merayunya tidak lagi terdengar.

“Ndak, Mas. Menur ndak lupa.” Menur akhirnya mendongak lagi dan menatapnya. 

“Pertama pas kita baru nikah dua bulan. Mas bilang kita pisah aja soalnya aku ndak bisa masak asem-asem enak. Yang kedua pas aku habis lahiran. Kata Mas aku ndak guna, gendut—”

Menur ingin mengucapkan semuanya dengan damai, karena semua sudah lewat, tapi ingatan ucapan menyakitkan itu rupanya masih bisa menggores meski sudah hampir empat tahun berlalu. Matanya sedikit panas oleh air mata merebak.

Masa dimana dirinya amat lemah, tapi mendapat serangan yang fatal. Menur ingat tubuhnya sampai demam malam itu. Menur sampai sekarang masih bersyukur karena Gita masih bisa tenang saat itu.

“Kata Mas aku ndak cocok jadi istri Mas lagi. Mas bilang talak malah, katanya mau cari istri lagi. Yang ketiga dua bulan lalu. Mas bilang talak lagi soalnya aku ngelarang mas minum.” 

Lihat selengkapnya