Pria Pilihan Suamiku

aisakurachan
Chapter #2

Rencana Gila

“Mas Wira sehat?” Damar mencoba berbasa-basi saat bertemu pandang dengan Wira.

“Sehat, Mar. Kamu yang kurusan gitu.” Wira menggeser es teh yang sudah dipesannya sejak tadi. 

Damar mengangguk berterima kasih dan meminumnya langsung karena memang haus.

Udara siang di kantin sekolah tingkat menengah itu memang panas. Cuaca kota Salatiga pada umumnya sejuk, tapi beberapa minggu ini adalah puncak musim kemarau. Kota sejuk itu tidak bisa lolos dari panas menyengat.

Tapi bukan karena udara panas kantin itu kosong, Wira yang datang saat jam pelajaran. Damar sejujurnya keberatan meninggalkan kelas, tapi Wira bukan orang yang bisa ditolaknya dengan sembarangan.

“Kamu butuh istri buat nemenin sama nyiapin makan itu, biar ndak kurus melas.” Wira kembali menyinggung hal yang membuat Damar tersenyum masam.

“Nanti mungkin, Mas. Kalau udah lulus. Masih repot kalo sekarang.”

Damar masih belum tahu kenapa Wira ingin bertemu dengan tiba-tiba, tapi berharap bukan sekadar untuk menyindir saja. Damar tidak bisa menebak, karena sikap Wira yang tidak konsisten. Terkadang bisa penuh senyum, tapi Damar juga masih ingat bagaimana Wira memfitnahnya mengambil uang dari dompet kakeknya. Wira bisa menjadi madu dan racun—tergantung situasi.

“Kamu tu sekolah buat apa lagi? Udah pol S1, udah kerja juga. Apa ndak bosen belajar terus?” Wira menggeleng sambil menggigit pisang goreng yang tersaji.

“Bosen emang, Mas. Tapi ya udah terlanjur.” Damar mengatakannya bukan karena benar-benar bosan, tapi agar Wira tidak lagi mengatakan hal buruk tentang kegiatannya. Kalau menentang pendapat itu, Damar tahu Wira akan semakin tajam mengolok.

Lha yo! Tau gitu uangnya kamu pake nikah aja. Kamu sekarang malah ga punya modal buat nikah kan? Kamu udah mau tiga puluh kok malah belum ngapa-ngapain.” Wira tertawa sendiri, karena Damar tidak merasa hal itu lucu. Tapi ia masih bisa tersenyum sopan.

“Tapi cocok kok, saya belum punya calon. Nanti kalau udah ada, saya ngumpulin lagi.” Damar sedikit membela diri. Pencapaian hidupnya tidak amat gagal hanya karena belum menikah di usia dua puluh tujuh.

“Kabar Mbah Sumo gimana, Mas? Saya belum sempet sowan.” Damar cepat-cepat bertanya hal lain, agar pembicaraan mereka tidak membahas hal yang membuat lidahnya masam.

“Masih di Mekkah. Belum pulang dari enam bulan lalu. Kamu kalo mau sowan, ya sekalian umroh. Ndak bisa juga tho?” 

Lihat selengkapnya