“Nipu apa, Mar? Aku cuma pingin Menur sama Gita hidup nyaman lagi. Aku tu masih sayang sama mereka. Jujur aja aku nyesel pisah sama Menur. Tapi emang Menur keras kepala. Aku kadang yo jengkel, ndak kuat.” Wira mendesah dan menggeleng dengan wajah sedih.
“Lha maksud Mas apa kok malah nyuruh aku nikah sama Mbak Menur?” Damar semakin heran. Tidak masuk akal kalau Wira malah mengusulkan mantan istri yang masih dicintainya menikah dengan pria lain.
“Soalnya aku tahu Menur bakal nikah lagi setelah ini. Aku kenal betul ibunya. Mertuaku itu bakal nyuruh Menur nikah lagi. Yakin wis!” Wira mendecakkan lidah.
“Ibu itu pemaksa, dan Menur pasti nurut. Ndak bakal bisa nolak, apalagi kalo duit. Gampang banget setuju. Menur pasti dipaksa. Terus Menur ki ayu, Mar. Mesti banyak yang ngalamar nanti. Khawatir aku.”
Damar menggeleng, tapi belum berkata apapun. Menyusun penolakan yang sekiranya tidak bisa ditampik Wira, tapi Wira juga terus menekan.
“Aku yang penting tu Gita, Mar. Aku ndak mau Gita ikut laki-laki entah siapa. Aku lebih tenang kalau kamu yang nikah sama Menur. Jadi mereka berdua aman.”
Damar bukan tidak mengerti, tapi hatinya masih belum bisa mengatakan hal itu benar. “Tapi salah, Mas. Aku ndak bisa nikah gitu aja sama wanita yang—”
“Aku ndak minta terus-terusan, Mar. Aku juga usaha terus buat ngerayu Menur. Sampai aku berhasil, setidaknya Menur aman sama kamu. Aku nitip gitu lho. Paling beberapa bulan.”
“Nitip? Ini nikah, Mas. Bukan loker supermarket!!” Damar mengulang jengkel. Terkesan Wira seperti menitipkan tas.
“Ya, nitip emang. Aku cuma butuh waktu buat bujuk Menur, tapi ibunya ga bakal ngasih waktu kalau duit terlibat. Kamu bisa kan jagain bentar aja?”
“Kenapa Mas ndak minta ibu Mbak Menur buat mbujuk? Kasih uang juga ke dia, biar nyuruh Mbak Menur rujuk sama Mas.” Damar memberi usul yang menurutnya brilian.
Bahkan Wira terdiam, tampak mengernyit beberapa saat sebelum menggeleng.