“Ini, Mbak.”
Menur yang sedang meletakkan piring untuk makan ke atas meja, berpaling dan melihat tumpukan kertas disodorkan Damar.
“Apa… brosur?” Menur terkejut, meski seharusnya tidak karena Damar sudah mengatakan akan mencarikannya kemarin.
“Mas bener-bener nyariin?” Menur terkejut karena tidak percaya Damar akan melakukannya. Tanpa sadar, Menur memperlakukan janji Damar seperti Wira.
Menur terlalu sering mendengar janji Wira untuk membantu tentang sesuatu, tapi pada akhirnya Menur sendiri yang harus melakukannya. Karena itu Menur kemarin mencari informasi sendiri karena tidak berharap Damar akan memenuhi janji.
Menur lupa kalau ada pria yang benar-benar akan melakukan apa yang dikatakannya.
“Apa ada yang salah?” Damar bertanya dengan tidak kalah heran melihat Menur yang terdiam.
“Ndak ada, Mas. Sudah bener.” Menur menggeleng, sambil mengusir pikiran takjub. Tidak perlu menambah ketakjuban hanya karena hal itu.
Memenuhi perkataan adalah minimal, karena wajar saja sebenarnya. Tapi Menur menganggapnya istimewa karena belum pernah ada yang melakukan itu untuknya.
“Ini yang paling jauh. Ini yang paling deket.” Damar menunjuk tumpukan paling bawah sebagai jauh, dan yang atas sebagai dekat.
“Mas ngurutin jaraknya?” Takjub yang tadi rencananya tidak boleh ada, harus muncul lagi. Menur sampai membelalak menatap Damar.
Usaha yang dilakukan Damar bukan hanya mencari rupanya. Menur semakin tidak siap menerimanya.
“Ya, terus ini daftar biayanya. Biar mudah mutusin yang mana kalau emang—Mbak! Eh?”
Damar menarik satu kertas dari tumpukan, tapi karena Menur tidak erat menggenggam, semua tumpukan brosur itu ikut tertarik dan berhamburan jatuh.
Oh?” Menur langsung tersadar dari rasa terpukau dan berjongkok untuk mengambil semua yang jatuh—pun sama dengan Damar yang langsung menunduk dan mengulurkan tangan. Tapi yang tersentuh adalah tangan Menur.
“Maaf!” Seperti menyentuh bara, Damar secepat kilat menarik tangannya.
Menur kembali tercengang, tapi bercampur marah. Ia tidak mempermasalahkan sedikit bersenggolan, tapi reaksi Damar yang langsung menarik tangannya itu menyinggung.
“Mas, nipu ya?” Menur berdiri dan menatap Damar dengan mata menyipit.
“Nipu apa?” Damar menghindari matanya dengan sengaja, semakin mencurigakan untuk Menur.
“Mas kemarin bilang kalau mau nikah denganku karena tertarik saat melihatku dan memerlukan istri. Mas bohong soal ini.”
Titik keringat muncul di kening Damar, dan tidak ada hubungannya dengan cuaca. Sore itu dingin, hujan baru saja turun. Kota yang dikelilingi gunung itu sejuk sejak siang. Keringat itu ada karena gugup.
Menur tadinya ragu untuk mengkonfrontasi, tapi tidak lagi. Gugup itu karena memang ada sesuatu yang disembunyikannya.
Mau tidak mau, artikel yang kemarin dibaca Menur kembali muncul dalam benaknya. Menur tidak mau menuduh sejauh itu, tapi sikap Damar yang tidak mau menyentuh wanita yang sudah jelas istrinya, semakin menambah poin keyakinan ke arah sana.
“Ndak bohong, Mbak. Saya…”
“Lalu kenapa Mas bahkan ndak mau megang tanganku?”