Ternyata kau sudah tumbuh sebesar ini. Tapi masih saja tetap sama … tidak tahu apa pun tentang dirimu dan keluargamu. Gadis kecil yang bodoh.
Di balik sorot mata Eliano, Shakeela bisa merasakan luka tersembunyi yang disimpan pria ini dalam ruang hatinya yang paling rahasia. Ia menutup rapat ruangan itu, tidak ingin siapapun tahu tentang apa yang tersimpan di dalamnya. Sedang di balik mata Shakeela, Eliano melihat seorang gadis kecil terperangkap di dalamnya dan berteriak—minta diselamatkan. Ia tidak pernah berani mengatakan keinginan ataupun perasaannya pada siapapun. Namun ia berharap seseorang bisa mengerti dirinya tanpa harus ia katakan. Eliano tersenyum tipis. Ia mulai memutar isi kepalanya untuk mendekati Shakeela—putrinya Salim.
“Putri Anda cantik sekali, Pak. Tapi belum tentu saya adalah pria yang diinginkannya.”
“Hahah… bagaimana mungkin? Wanita mana yang tidak menginginkan pria sepertimu? Kau pria yang sukses dan juga tampan. Aku yakin, sebenarnya banyak wanita di luar sana yang mengejarmu dan kau menolak mereka semua.” Salim berkata seraya menoleh ke Hanung. Hanung mengangguk setuju, “Ya, aku pikir juga begitu. Siapa yang tidak menginginkanmu? Mungkin saja... Shakeela sekarang mulai mengagumimu diam-diam, hahaha.” gurau Hanung.
Sementara itu, pandangan Eliano tidak lepas dari Shakeela sejak tadi. Gadis polos itu mulai sedikit menunduk, merasa malu dengan suasana canggung ini.
“Hahaha… kau ini benar-benar. Lihatlah, pipi putriku jadi memerah karenamu,” ujar Salim yang merasa senang dengan perkataan Hanung tadi. Wulan—istri Salim tak ubahnya. Ia tampak setuju dengan perjodohan ini. Tangannya membelai lembut kepala Shakeela, seolah memberi isyarat pada putrinya itu agar tidak menyangkal apa yang dikatakan Hanung tadi. Sedang Shakeela, ia benar-benar tidak bersuara sedikitpun. Entahlah ia memang membenarkan perkataan Hanung, atau ia takut melawan ibu dan ayahnya. Tapi dari sorot matanya yang indah itu jelas sekali ada secercah rasa kagum pada Eliano. Sepertinya ini kali pertama ia mengagumi seorang pria dalam hidupnya.
“Eliano Rumi,” sapa El memperkenalkan dirinya. Ia berinisiatif membuat langkah lebih dulu.
Shakeela menaikkan lagi pandangannya, memperhatikan wajah Eliano sedikit lebih berani. “Shakeela Ayunda,” jawabnya menyambut tangan El. Lalu mereka saling membalas senyuman hangat.
“Wah… sepertinya kau akan segera memiliki seorang menantu yang sukses, Salim.”
“Hahaha… ya, sepertinya begitu.”
Salim pikir rencananya berhasil. Padahal ia tidak tahu, kalau Shakeela memang target awal Eliano sebagai umpan balas dendam. Setelah melepas jabatan tangannya dari Shakeela, Eliano mencoba menyusun strategi lain. Bak aktor profesional yang sudah memiliki banyak jam terbang, dengan cepat ia memainkan perannya.
“Untuk menjadi menantu dari seorang Pak Salim, sepertinya saya harus mencari tahu banyak hal dari Bapak.”
“Apa itu?”
“Bagaimana menjadi seorang pebisnis yang sukses, sekaligus … cara mendapatkan hati putri Bapak?”
Mendengar ini, Salim, Wulan dan Hanung serempak tertawa kaya. Tawa mereka seakan menghamburkan miliaran dolar di dalam gedung pesta ini.
Salim melangkah mendekati Eliano, ia merangkul pundak anak muda itu.
“Baiklah. Tampaknya kau memang serius ingin mengetahuinya. Aku akan berikan tips-nya, kiat-kiat menjadi pebisnis sukses dan cara mendapatkan hati putriku, hahah.”
Kemudian Salim, Hanung dan Eliano pun mulai bincang-bincang soal bisnis. Di sisi lain, Wulan dan Shakeela kini sudah berada di meja tamu lain. Karena perintah Salim, yang tadi meminta istrinya untuk menyapa para istri tamu lainnya. Shakeela terlihat mulai merasa sesak berada di antara para ibu sosialita ini. Semua orang hanya membicarakan hal yang membosankan, menurutnya. Tidak jauh dari topik bisnis dan ajang pamer. Di dalam gedung nan megah ini ia merasa dirinya seperti menghadiri acara pesta topeng. Seluruh tamu undangan menutupi wajah mereka dengan misterius untuk menyembunyikan identitas asli mereka.
“Ibu, aku ingin mencari udara segar.” ucapnya gugup.
Wulan seketika menghentikan obrolannya dengan salah seorang kenalan. “Kau ingin kemana?” tanyanya, menunjukkan ekspresi sedikit marah.
“Aku ingin ke atap atas, Bu.”
Wulan menghela napas, “Ya sudah. Jangan lama-lama. Di luar dingin, nanti kau sakit.” Shakeela hanya mengangguk menjawab ibunya.