Aku bisa memaafkan apa pun, tetapi tidak untuk satu hal. Penghianatan.
***
Ada beberapa keberuntungan yang kumilki di dunia ini, yaitu kamu. Pram. Laki-laki terbaik yang Tuhan beri. Melihatmu setiap saat adalah sebuah kebahagian berlapis. Cintamu adalah napasku, dan melayanimu adalah tujuanku. Bahumu selalu bidang, tempat terbaik saat air mata ini tumpah. Hatimu selalu hangat ketika memeluk. Aku suka itu. Tidak ada yang lebih aku sukai selain menghabiskan sisa usia bersamamu.
Namun semuanya berubah petaka. Kaubagi bahumu itu untuknya. Kaubagi pula hatimu untuknya. Dimana posisiku sekarang, Sayang. Masihkah namaku kau sebut dalam setiap doamu. Kurang apa aku hingga kautega menghancurkan sebuah hati yang begitu memujamu.
“Reina, buka pintunya. Kita harus bicara.” Kau menggedor-gedor pintu kaca mobil. Di bawah gerimis yang terus membasahi bumi. seperti tetesan air yang luruh dari kedua kelopak mataku. Kemana lagi kusandarkan hati ini. Sakit.
“Reina, aku mohon.” Kau bentangkan tubuhmu, berusaha menghalangi. Tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Semua sudah terlalu jelas. Netra ini adalah saksi nyata atas perbuatanmu. Sungguh, cinta hanyalah kedukaan tertunda. Semakin dalam cinta bersemi semakin sakit di hati. Dan aku begitu mencintaimu, membuat hatiku begitu lara. Saat kau membagi kasihmu untuknya, bolehkah kesakitan ini juga kubagikan untuknya? Perempuan itu. Aku membencinya. Saat ini aku membenci diriku sendiri yang masih sangat merindukanmu. Berharap semua hanyalah mimpi belaka.
Bisakah kau berada di posisiku saat ini? Sesaat saja. Agar kau dapat merasakan betapa luka ini benar-benar nyata. Di dada ini, ada lubang menganga. Tanpamu. Kosong.
Dada ini kian sesak. Susah payah kuhirup udara, akan tetapi seperti kesia-siaaan. Apa aku mati sekarang? Pandanganku berubah samar. Masih kulihat dirimu, dari balik kaca jendela itu. memanggil namaku.
Brakkk, pecah. Lalu gelap.
***
Aroma obat-obatan menusuk indra penciuman. Kepalaku enggan untuk bangkit. Masih terlalu berat. Kedua kelopak mata seakan menolak cahaya yang menyilaukan. Perlahan, daun pintu itu terbuka. Kulihat perempuan itu, dengan dress putih membawa sekeranjang buah. Ia tersenyum. Senyum penuh kepalsuan. Menjijikan. Apa kau ingin meminta maaf atas kejadian itu? jangan harap. Dunia akhirat aku tidak akan pernah memaafkanmu. Atau kau ingin mendoakanku cepat mati. Agar kau bisa mengambil Mas Pramku? Dadaku bergemuruh. Rasanya ingin sekali kucabik-cabik kulit putihnya itu.
“Pergi,” jemariku mengepal. Tuhan, kuatkan aku. Kesakitan ini membuatku bisagila. Jangan sampai sesak di dadaku ini membuatku menghilangkan sebuah nyawa.
“Bagaimana kabarmu, Reina?” Langkah perempuan itu terlihat anggun. Aroma wangi menguar. Apa aroma ini yang membuatmu menghianati cinta kita, Pram? Aku bahkan bisa melihat cara dia menatapku. Polos? Cuih. Ia hanya berpura-pura menatapku seperti malaikat. Ia menggeret kursi hingga posisi kami semakin dekat.
“Sejauh apa bubunganmu dengan Pram?” kutatap wajahnya dengan garang.
“Aku tidak yakin kau sungguh ingin mendengarnya. Aku berharap kau cepat sembuh.” Ia memalingkah wajah. Bangkit, lalu melangkah perlahan mendekati jendela. Ingin sekali kuterjang tubuh itu, kemudian menyumpal bibir merahnya dengan kain kematian.
“Kau masih muda dan cantik, ada ribuan laki-laki di dunia ini yang akan menerimamu. Kenapa harus Pram!”
“Ada beberapa hal membuatku tidak bisa melakukan itu, Reina.”