Pribumi

Raida Hasan
Chapter #4

Bendera Untuk Bune

Rumah keluarga Bune berdinding papan. Beberapa lapisan bahkan sudah lapuk dimakan rayap. Atapnya dari daun nipah. Sudah banyak bolong. Saat musim hujan selalu meninggalkan jejak-jejak basah di setiap ruangan.

Mereka hanya memiliki dua ruangan utama yang sempit. Satu kamar mungil tempat nenek melepas lelas, juga menerima tamu yang minta dipijit. Satunya lagi tempat mereka makan, belajar, juga tidur. Pakaian-pakaian bergelantungan menghiasi dinding. Di bagian belakang terdapat pawon setengah terbuka. Hampir menyatu dengan alam.

Ayah mereka sudah lama meninggal, tersebab sakit yang tak diobati. Ibunya pergi ke Hongkong sebagai TKW. Namun, sudah tiga tahun tidak memberi kabar dan tidak pernah mengirim uang.

“Bune, matiin lampunya. Sudah malam.” Fatimah bergumam. Lampu bohlam lima watt itu membuat matanya susah terpejam.

“Sebentar lagi, Kak.” Bune masih menggambar dengan posisi tengkurap. Besok tugas itu akan dikumpul. Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu menggambar tentang rumahnya.

“Kak,” panggilnya.

“Apa?” Fatimah setengah malas menjawab.

“Tetangga-tetangga kita sudah memasang bendera. Kapan kita bisa masang juga, Kak?”

“Entahlah, Bune. Bajumu sobek saja belum diganti bagaimana caranya beli bendera?”

“Kita minta sama Pak RT saja. Bendera mereka selalu baru pasti yang lama tidak terpakai.”

“Kita boleh miskin, Bun. Tapi jangan jadi pengemis. Kakak enggak suka ya kalau kamu minta-minta sama orang.” Kak Fatimah membalik punggungnya hingga menghadap dinding. “Tidur, Bune. Sudah larut!” perintahnya lagi.

Bune tidak menjawab. Ia masih menatap lamat hasil gambarannya. Bu Guru kesenian meminta murid-murid menggambar lingkungan sekitar. Bune menggambar tentang rumahnya yang dari kayu itu. Ada pohon waru di samping. Di depannya ada tiang bendera. Bune tersenyum, bendera sudah terpasang di depan rumahnya, walau lewat lukisan tangannya.

Pagi hari, udara masih sangat dingin. Bune dan Fatimah bersiap ke sekolah. Mereka sarapan roti gembukan dan segelas air putih hangat. Roti itu dibeli dari seorang penjual yang sering menjajakan dagangan pada subuh hari sebelum diantar ke pasar. Bune mengendarai sepeda BMX. Bannya sudah sangat mulus. Kena duri saja mungkin meletus. Fatimah sendiri berjalan kaki. Letak sekolah mereka berada di jalan yang berbeda. SMP Kak Fatimah di ujung jalan sana, sedangkan sekolah Bune masih harus lurus lagi. Melewati perkebunan karet dan sarang burung walet.

Hari ini Bune begitu bersemangat. Nanti sore akan ada perlombaan menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Sepanjang jalan ia memikirkan tentang lomba apa saja yang akan diikuti. Bune memelankan kayuhan sepedanya ketika melewati rumah Pak RT. Ia melihat Bu Rt sedang membuang sesuatu. Sekilas Bune melihat kain berwarna merah putih. Bune yakin, itu adalah bendera.

“Bune, ayo!” Ridwan—teman satu kelas—menghampirinya. Bune sempat ragu, ia ingin mengambil bendera itu, tetapi sungkan karena ada Ridwan. Bune mengangguk, kemudian kembali mengayuh sepeda dengan perasaan ragu.

“Ah, seharusnya aku mengambil bendera itu terlebih dahulu,” gumamnya.

Setiba di sekolah, Bune masih saja memikirkan bendera itu. Pikirannya pecah dan susah berkonsentrasi. Saat pulang sekolah ia memilih untuk pulang lebih belakangan. Ia ingin tidak ada satu pun temannya yang melihat saat memungut bendera itu.

Bune memastikan teman-temannya sudah pulang. Ia keluar dari sekolah. Dengan mengayuh sepeda sangat pelan. Tepat di depan rumah Pak RT, Bune berhenti, membuka tutup bak sampah perlahan. Naas, sampah-sampah itu nyaris kosong. Hanya menyisakan dedaunan kering.

“Nyari apa, Bune?” seru Bu RT dari teras.

Bune terkesiap, ia tidak mempersiapkan jawaban apa pun. “Ehm, anu, ehm, tidak ada, Bu.” Bune kembali mengayuh sepeda. Jantungnya berimana lebih kencang. Rasanya seperti pencuri, batinnya.

Kak Fatimah belum pulang saat Bune tiba di rumah. Bune masih sedih. Berulang kali ia menyesali, seharusnya ia mengambil bendera itu.

“Nenek moyang kita banyak yang gugur sebelum negara kita merdeka, Bune.” Bune mengingat kembali cerita dari ayahnya.

“Selama ratusan tahun negara Eropa menguasai negeri kita. Juga Jepang. Anak-anak tidak bisa sekolah. Bahkan ada yang menjadi budak.” Saat mengingat itu, hati Bune perih. Ayahnya selalu berkisah sebelum tidur, tentang kakek. Kakek mereka seorang veteran. Begitu gigih ikut turut membela kemerdekaan Indonesia. Namun, sisa hidupnya begitu nelangsa. Sakit-sakitan, dan terlupakan.

“Kalau dulu Kakekmu berjuang dengan tenaga, darah dan air mata. Maka kau pun harus tetap berjuang, walau sekarang Indonesia telah merdeka,” kenang Bune lagi.

Lihat selengkapnya