Pribumi

Raida Hasan
Chapter #5

Bukan Perempuan Kedua

“Namanya Hanung, ponakan Tante. Lusa dia akan menempati kamar paling depan itu. Kamu tolong persiapkan!” Tante Miska menyerahkan kunci kamar. Kemudian berlalu menuju halaman, menaiki mobil sedan merah maroonnya dan pergi entah kemana.

Aku bergegas ke belakang, mengambil peralatan bersih-bersih. Hening. Beberapa penghuni kos sedang kuliah, sisanya masih terlelap.

Suasanya indekos di pagi hari setelah pukul delapan memang senyap, akan mulai hidup menjelang sore atau malam hingga dini hari. Kalau pun ramai biasanya sedang membawa pasangan masing-masing.

Kamarku berseberangan dengan kamar yang akan ditenpati ponakan tante itu., Tugasku di sini membersihkan halaman, menyiapkan kamar baru, menyalakan listrik ketika malam menjelang dan mematikan kembali di pagi hari. Melaporkan segala tindak tanduk anak kos dan menertibkan segala administasi. Sebagai imbalan, gratis menempati kos sampai kapan pun. Setidaknya hingga urusan kuliah selesai. 

Lusa yang dijanjikan itu tiba. Sebuah mobil besar berwarna putih memarkir di halaman. Bangunan ini membentuk hurup U. Terdiri dari dua puluh enam kamar. Pekarangan bisa menampung hingga dua belas mobil. Beberapa pohon berjejer rapi menaungi area parkiran.

Di belakang mobil itu mengekor sedan merah maroon, mobilnya Tante Miska. Aku hanya berdiri di ambang pintu, memegang sapu lidi. Menunggu dipanggil.

Seorang pemuda berambut lurus sebahu keluar dari mobil. Dari kejauahan kulitnya terlihat putih. Ia memakai kacamata berwarna coklat gelap. Mengenakan kaos hitam, dan celana jin biru longgar. Penampilannya serupa artis korea. Matanya memindai kedaaan, kemudian tertumpu padaku. Cepat-cepat kualihkan pandangan.

“Wulan!” Tante Miska berseru sambil melambaikan tangan dengan kipas mungilnya. Gegas kuhampiri. “Sudah kamu siapkan kamarnya?”

“Sudah Tante. Ini kuncinya.”

“Kamu tolong bantu Hanum masuk. Tante buru-buru. Sudah ditungguin ibu-ibu arisan.” Aku mematung, mencerna kata-kata Tante Miska. “Hanum!” serunya lagi memanggil bocah besar berkacamata coklat gelap itu. “Ini Wulan, kamu kalau perlu apa-apa tinggal bilang sama dia.” Hanum mengangguk, tidak tarlihat jelas sorot matanya yang masih tertutup kaca mata itu.

Tante Miska kembali menaiki mobil dengan tergesa. “Yang mana kamarnya?” tanya Hanum. Jemariku menunjuk kamar paling depan. Jendelanya masih tertutup tirai putih. Kamar nomer dua. Kamar nomer satu hingga lima masuk kategori VIP. Memiliki kamar mandi cukup besar dan ruang tamu tersendiri.

“Turunin koperku di mobil!” Tepat saat aku membukakan pintu kamar kosnya.

“Aku!”

“Memang ada orang lain?”

Tubuhku memutar, melangkah menuju mobil putih. Saat pintu mobil terbuka, aku langsung terbatuk. Aroma asap rokok seketika menguar. Kuraih koper yang berukuran besar. Tubuhku nyaris limbung karena hentakannya.

Cowok sombong, manja, tak punya nurani, apa dia tidak bisa menghargai seorang perempuan. Jelas-jelas badannya jauh lebih besar, sehat tak kurang suatu apa pun, kenapa dia menyuruhkan membawakan koper ini.

 Langkahku tertatih-tatih menuju kamar nomer dua. Peluh di pelipis mulai menderas, ketiakku rasanya sudah menguarkan aroma masam. Astaga, berat sekali koper ini, apa yang begundal itu bawa?

“Taruh saja dekat meja itu,” pintanya bahkan tanpa melihat ke arahku, penderitaanku. Melihat pot bunga plastik di atas meja, rasanya ingin sekali kulempar wajah songongnnya itu.

“Lumayan,” ia bergumam dan menyendarkan diri di sofa, membuka kaca mata, kemudian menyalakan AC.

“Kalau sudah tidak ada yang bisa saya lakukan di sini, saya mau pamit dulu, Ju-ra-gan.” Seketika Hanum tertawa lepas, kulit wajahnya memerah.

“Aku bukan juraganmu, panggil saja Hanum.”

“Iya Juragan Hanum,” balasku kembali.

“Kamu bisa pijit?”

Sial, mataku membulat tajam. “Enggak!”

***

Seorang perempuan turun dari mobil, mengenakan rok mini dengan blouse putih berlengan panjang. Rambut keemasannnya bergelombang, tergerai sempurna. Mobil yang mengantarkannya pergi. Dari arah lain, tampak Hanum keluar dari kamar menyambut hangat perempuan itu. Mereka berpelukan, cipika-cipika lantas masuk kamar. Hingga kemudian, hanya Tuhan dan cicak-cicak di dinding saja yang tahu apa yang mereka perbuat.

Aku berdiri tepat di seberang mereka, melanjutkan mengepel area selasar. Semakin lama menuju teras kamarnya Hanum, terdengar tawa. Tawa manja khasnya perempuan. Dih, kenapa aku jadi menguping seperti ini. Tepat di depan pintu, Hanum keluar.

“Hai Wulan,” sapanya. Aku hanya membalas dengan tatapan linglung. “Bisa minta tolong?”

“Apa!”

Hanum merapatkan tubuhnya ke arahku, “Tolong beliin pengaman.”

 “Ogah, beli aja sendiri.” aku melengos meninggalkan kamar mesumnya. Entah kenapa aku malu sendiri. Tak peduli area pel yang belum tersentuh semua. Otakku kian panas. Bisa-bisanya cowok itu memperlakukanku seperti itu!

***

Samar terdengar ketukan. Kupelankan volume radio. Benar, ketukan itu semakin kencang. Tubuhku beringsut menuju pintu. “Siapa?”

“Hanum.”

Mau apa bocah mesum itu? Kubuka sedikit pintu. Dia sudah berdiri dengan senyum kudanya.

“Ada apa?!” tanyaku ketus.

“Tadi aku borong gorengan.”

“Lalu?” tanganku bersidekap

“Aku enggak sanggup makan sendiri.”

“Lalu?”

“Mari kita habiskan bersama.”

“Terima kasih. Aku sudah kenyang.”

“Sayang ‘kan, mubajir.”

“Kasihkan saja ke satpam sana.” Aku menutup pintu.

“Lan!” Dia masih menggedor pintu sambil terus memanggil. Aku menarik napas lebih panjang.

“APA LAGI?”

“Ini malam minggu, apa kamu tidak apel?”

“Apel enggak apel apa urusanmu. Sudah sana. Aku sibuk!”

“Sibuk apa?”

“Bukan urusanmu!” Segera kututup kembali. Namun, sesuatu mengganjal. Sebelah kakinya telah lebih dulu menghalangi pintu. “Mau kamu apa sih?”

“Aku tidak punya teman di sini. Cuman kamu yang aku kenal.”

“Lalu?”

“Cewekku sudah pulang kemarin.”

“LALU!” Rahangku mulai mengeras, kepalaku rasanya sudah mengeluarkan asap.

“Aku kesepian.” Aku langsung menendang kakinya agar menjauh dan segera membanting pintu.

“AWWW!!!” Dia memekik. Pintu tidak bisa menutup rapat karena jemari Hanum tertahan di sana. Aku terkesiap.

“Kamu ngapain sih!”

“Aduh sakit banget ini, Lan.” Hanum meringis meniup-niup jemari. Aku menyambar jemarinya. Astaga, biru gini, lebam, dan lecet. Berdarah.

“Duduk sana, aku ambilin Hansaplas.” Aku bergegas ke dalam, mencari kotak P3K. Saat keluar, Hanum masih memegangi jemarinya.

“Sini,” pintaku sambil meraih tangannya. “Kamu kurang kerjaan ya, malam-malam ngerusuh di kamar orang?” Kubersihkan tiga jemarinya yang lecet dan lebam itu dengan kapas yang telah diberi alkohol. Kemudian mengolesi dengan Vaseline Royal Jelly lebih tebal pada jarinya.

“Sepi, Lan.”

“ …”

“Sepi ini membunuhku.” Kutekan jarinya lebih keras. “Aduh, sakit, Lan.”

“Ini sudah semua. Aku mau tidur, ngantuk.” Aku bangkit.

“Gorengannya?”

“Hem …” Aku kembali duduk. “Ya sudah, kamu makannya yang cepat!” Dia nyengir.

“Jemariku ‘kan, masih belepotan Vaseline, Lan.”

“Pakai tangan satunya.”

“Makan pakai tangan kiri pamali.”

“Darurat, tidak apa-apa.”

“Kamu kok ketus banget sama aku. Lagi PMS ya?”

“Aku memang ketus sama semua orang, masalah buat lo?”

“Haish, salah lagi.”

Malam itu aku dan Hanung menghabiskan gorengan, sampai jam sebelas. Dia ngoceh sangat panjang. Serupa kereta tanpa ekor. Bercerita ke sana ke mari. Tentang gadis-gadisnya. Tentang kotanya. Tentang kesukaannya, juga film-film. Dan sepanjang jalan cerita aku hanya mendengar, mendengar, dan mendengar.

***

Pagi hari kusapu halaman. Kemarau membuat daun-daun berguguran lebih banyak. Hanum duduk di teras kamarnya, memetik gitar. Menyanyikan lagu sendu. Suaranya cukup merdu. Alunan musiknya mendayu-dayu. Lebih cocok sebagai pengantar tidur. Sesaat aku terbawa dengan lentingan gitar itu. Cukup memesona.

“Lan, laper.” Hanung berseru. Menghentikan permainan gitarnya. Aku hanya menoleh sebentar. “Cari makan, yuk!”

“Masih kenyang.”

“Cuman sebiji roti, kenyang apaan?”

Astaga, apa bocah mesum itu melihatku memakan roti mungil tadi pagi?

“Lan, nanti aku traktir.”

“Berhentilah menggangguku, HANUM!”

“Aku tidak akan berhenti sampai kamu mengiyakan!”

Kenapa ia keras kepala sekali. Kusapu halaman lebih cepat, tidak ingin berlama-lama di depan Hanum. Meletakkan peralatan dengan asal, dan bergegas ke kamar. Baru juga menutup pintu, Hanum kembali menggedor. Aku pura-pura tidak mendengar, semakin kencang ketukannya. Haishhh … dosa apa yang telah kuperbuat hingga dipertemukan dengan laki-laki ini.

Lihat selengkapnya