Botol kaca berwarna hijau tua dengan tutup kayu di atas jendela itu selalu menarik perhatianku. Dulu, di Pulau Borneo, di rumah kami yang sangat besar dengan perabotan mewah, dilengkapi taman indah dan jejeran kendaraan beroda empat layaknya show room, aku pernah melihatnya. Ia memiliki tempat lebih tersembunyi, jauh dari jangkauan anak-anak.
“Apa ini, Ibu?” tanyaku. Kala itu tanpa sengaja menemukan botol yang sama, diletakkan begitu spesial pada kotak perhiasan kesayangan ibu.
“Itu bukan mainan, kembalikan! Jangan sekali-sekali kauganggu,” hardiknya. Aku masih ingat saat pandangan perempuan yang telah melahirkanku itu mendelik tajam. Kedua bola matanya seakan ingin melompat. Mulutku seketika bungkam.
Aku mulai menerka-nerka. Mungkin isi dari botol itu sejenis sirup sangat spesial. Dibeli dari luar negeri. Seperti kebiasaan ibu yang suka traveling ke beberapa negara. Manis dan mahal. Bisa membuat gigi rusak seperti yang ibu katakan apabila terlalu banyak memasukkan gula-gula ke mulut.
Tanpa sepengetahuan ibu, kubuka tutup botol itu, menumpahkan beberapa tetes ke telapak tangan. Cairan pekat dengan aroma anyir dan apak menjijikkan membuat lambungku seketika mual. Warnanya tidak merah, tidak juga coklat. Mungkin serupa tomat busuk bercampur kotoran hewan.
Waktu berlalu hingga kami pindah ke desa ini, Kedung Pingit. Rumah Joglo tua. Berdinding kayu, beratap esbes lapuk tanpa plafon. Sebuah ruangan bahkan menyatu dengan tanah. Saat siang hari, cahaya menerobos dari banyak celah, tidak hanya dari atap yang bocor tapi juga dinding yang disusun tak rata. Hanya ada dua kamar berukuran kecil dan ruang tamu nyaris menyatu dengan dapur. Bapak terkena PHK. Desas desus menyebutkan, bapak menggelapkan uang perusahaan. Beruntung ia tidak dijebloskan ke penjara. Bapak hanya diminta menyerahkan seluruh aset beserta isinya. Semenjak itu pula hanya pertengkaran demi pertengkaran menghiasi rumah kami.
Ibu yang terbiasa hidup mewah harus memprihatinkan diri dengan keadaan bapak. Selain baju-baju yang tidak seberapa, kenapa botol ini yang ia bawa kemana-mana. Kenapa bukan mobil atau perhiasan yang biasa melekat padanya yang seharusnya turut serta.
“Ini dahwat,” ibu berkata ketika kutanyakan kembali. “Darah orang mati syahid karena terbunuh,” ucapnya lagi. Seketika tengkuk leherku meremang. Kenapa ibu harus menyimpan benda aneh sangat mengerikan itu?
“Dengan ini, rumah kita akan terbebas dari pencurian dan orang-orang yang berniat jahat.” Ibu seolah membaca pikiranku. Di rumah kami dulu, mungkin saja benda itu berguna. Tidak ada satu pun pencuri atau perampok yang berhasil menerobos masuk. Lagi pula, siapa yang berani mencuri di rumah kepalanya pencuri?
Lalu, di rumah serupa gubuk ini apa yang harus dijaga? Bahkan tivi tabung ukuran empatbelas inci itu saja belum tentu pencuri tertarik. Tivi itu lebih sering mengeluarkan bunyi kemresik tidak jelas dengan chanel-chanel memuakkan.
“Darah ini sering dicari sebagai tinta membuat tambang liring. Ilmu pengasihan yang akan membuat seseorang seketika kasmaran bahkan lupa daratan.”
“Apa itu yang Ibu gunakan untuk memikat hati Bapak?”
Ibu menghela napas panjang tanpa memberi jawaban pasti. “Dengan tinta ini pula kita bisa mendapatkan kekuasaan dan kehormatan.”
“Seperti yang Bapak lakukan untuk mendapatkan jabatannya?”
Ibu kembali terdiam.
“Lalu semuanya tak berpengaruh apa-apa lagi setelah kita menyeberangi lautan, bukan?”
“Sudahlah, Marina, jangan kauganggu botol itu, biarkan di sana,” ibu seakan memberi maklumat. Aku tidak mengindahkan perihal ucapan ibu, dan sebenarnya aku juga tidak peduli dengan botol itu. Namun semuanya menjadi berbeda, botol itu tanpa sengaja tersenggol sapu saat aku ingin mengusir seekor tawon yang terus berkeliaran di dalam rumah. Ia tumpah dan cairannya berceceran di lantai. Seketika aroma anyir menyeruak.
Lantai menjadi licin, kakiku terpelesat. Hentakan tubuh yang menghantam ubin membuat gaduh.
“Ada apa, Marina?” Ibu berkata dari kamarnya.